Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman. Dengan berbagai keragaman yang ada, Indonesia sudah sepantasnya memiliki budaya toleransi yang baik. Namun, melihat tren yang ada saat ini, tidaklah salah jika kita menilai bahwa budaya toleransi merupakan hal yang kian disangsikan keberadaannya di Indonesia.

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita bahwa beberapa waktu lalu di Bandung, terjadi aksi pembubaran paksa acara kebaktian di Kompleks Sasana Budaya Ganesha. Kemudian setelahnya, terjadi aksi penurunan paksa iklan penerimaan mahasiswa baru yang menampilkan sosok mahasiswi berjilbab, di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

Tidak lama berselang, setelah insiden tersebut, sembilan warga Muslim yang datang ke Nusa Tenggara Timur untuk mengikuti acara keagamaan di Atambua, Belu, diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Brigade Meo Timor.1 Bali, yang terkenal toleran pun tidak terlepas dari kasus intoleransi. Satu diantaranya adalah kasus perusakan arca-arca di Pura Dalem Perancak yang terjadi beberapa waktu lalu.

Kejadian-kejadian tersebut merupakan segelintir contoh kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia.  Komnas HAM mencatat adanya peningkatan kasus intoleransi dari tahun ke tahun. Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM, Jayadi Damanik mengatakan, pada tahun 2014 pihaknya mencatat, terdapat 74 kasus intoleransi yang masuk dalam meja pengaduan, sedangkan di tahun 2015 jumlah pengaduan mengalami peningkatan, dengan total pengaduan sebanyak 87 kasus.2

undefined

Sumber Ilustrasi

Kasus intoleransi tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya, seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat yang “melek media sosial”.3, 4

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, harus berurusan dengan hukum karena telah dianggap menistakan agama. Sebagai seorang figur publik, kasus itu tentu menjadi sorotan masyarakat. Berbagai kalangan ikut menyuarakan pendapatnya terkait kasus tersebut, termasuk melalui media sosial yang sudah sangat erat ikatannya dengan pola hidup masyarakat masa kini, para anggota generasi milenial (orang-orang yang terlahir pada tahun 1980–2000; juga sering diartikan sebagai masyarakat pada era kemajuan teknologi).5 Ada yang mendukung dan ada yang menentang, dengan amat mudah setiap orang menuangkan pemikirannya, yang entah dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat yang disampaikan di media sosial pun tidak jarang mengabaikan kaidah bahasa yang baik, etika, serta norma kesopanan, tidak berdasar atas fakta, menimbulkan diskriminasi, bersinggungan dengan isu SARA, dan lain sebagainya, yang sangat rentan menimbulkan perpecahan antar individu, maupun kelompok.

Jika kita perhatikan, terdapat kesamaan dalam setiap peristiwa intoleransi yang terjadi, yakni kurangnya pengetahuan dan pemahaman masing-masing individu terhadap keanekaragaman yang ada, sehingga timbul fanatisme, sikap tak acuh, dan benih-benih perpecahan lainnya. Meski demikian, perlu kita sadari bahwa permasalahan intoleransi bukanlah permasalahan yang tidak dapat diatasi.

Sejalan dengan prinsip yang dipegang teguh oleh para pemimpin dunia, “The highest result of education is tolerance”, dapat kita pahami bahwa permasalahan intoleransi bisa diatasi dengan edukasi optimal, yang mampu kita wujudkan melalui revitalisasi budaya membaca.6 Revitalisasi budaya membaca menjadi hal yang penting untuk kita wujudkan, karena aktivitas membaca dapat memberi berbagai manfaat, mulai dari meningkatkan kecerdasan kognitif, menjaga kesehatan otak, meredakan depresi, bahkan memiliki kaitan yang erat dengan empati dan toleransi.

Mengapa Penting bagi Kita untuk Membaca?

Kerap kita mendengar ungkapan “Buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah cara untuk membukanya.” Terdengar klise, tapi itulah faktanya. Aktivitas membaca, seperti yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian ilmiah, dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai berikut.

  1. Aktivitas Membaca dapat Meningkatkan Kecerdasan Kognitif
    Melalui aktivitas membaca, kita dapat memperoleh banyak informasi, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, bahkan sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan di University of California membuktikan, buku bacaan dapat memberikan paparan kosakata baru kepada anak-anak 50 persen lebih baik dibandingkan acara televisi, atau bahkan percakapan antara lulusan perguruan tinggi. Hal ini tidak hanya berimplikasi pada peningkatan nilai tes membaca, tapi juga menghasilkan peningkatan signifikan pada skor tes pengetahuan umum, menghantarkan mereka pada kemajuan pengetahuan di masa depan.7
  2. Aktivitas Membaca dapat Menjaga Kesehatan Otak
    Tidak hanya bermanfaat dari segi pengetahuan, aktivitas membaca juga bermanfaat dari segi kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wilson et al. pada tahun 2013, aktivitas membaca dapat menjaga bentuk otak saat mencapai usia tua. Penelitian yang melibatkan 294 peserta yang meninggal pada usia rata-rata 89 tahun, menunjukkan bahwa mereka yang rutin melakukan aktivitas merangsang mental, seperti membaca, mengalami penurunan memori yang lebih lambat daripada mereka yang tidak.8
  3. Aktivitas Membaca dapat Meredakan Depresi
    Suatu penelitian yang dilakukan oleh Williams et al. pada tahun 2013, menunjukkan bahwa aktivitas membaca buku, terutama buku self-help dengan kombinasi pelatihan tentang cara menerapkannya, atau yang juga dikenal dengan “biblioterapi”, dapat menurunkan gejala depresi secara signifikan dibandingkan dengan terapi biasa.9

Beberapa manfaat yang telah dipaparkan di atas hanyalah sebagian dari keseluruhan manfaat yang bisa kita peroleh dari aktivitas membaca. Manfaat yang besar dan dapat kita peroleh dengan cara yang mudah serta tidak memerlukan banyak biaya, membuat aktivitas membaca menjadi suatu aktivitas yang sangat layak untuk diterapkan di masyarakat. Banyak negara, utamanya negara-negara maju, seperti Finlandia, Norwegia, dan Islandia, telah berhasil menanamkan budaya membaca, yang mungkin, budaya itulah, alasan yang mendasari kemajuan negara mereka. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan studi “World's Most Literate Nations” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu tentang minat membaca, Indonesia duduk sangat jauh di peringkat ke-60 dari 61 negara, di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).10 Hal ini, sama sekali bukan masalah sepele. Rendahnya minat baca masyarakat sangat memengaruhi kualitas bangsa Indonesia. Akibat rendahnya minat baca, akan sangat sulit bagi kita untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi dunia, yang pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan bangsa dalam berbagai aspek, termasuk dalam hal pola pikir toleran dan menghargai perbedaan.

Budaya Membaca dan Keterkaitannya dengan Toleransi

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Bal and Veltkamp di tahun 2013 menyatakan bahwa, aktivitas membaca tidak hanya meningkatkan kecerdasan kognitif, tapi juga memiliki keterkaitan yang erat dengan empati dan toleransi.11 Membaca dan memahami banyak pengetahuan dapat mempermudah manusia untuk memiliki keterkaitan emosional dengan orang lain. Tidak hanya secara emosional, berbagai pengetahuan yang diperoleh dari aktivitas membaca juga berperan secara edukatif, menciptakan masyarakat yang pandai dalam memilah informasi sehingga terhindar dari isu-isu provokatif.

undefined

Ilustrasi oleh I Gede Made Dian P.

(Juara I Desain Poster Putra FLS2N Prov. Bali 2015, Kabupaten Tabanan)

GLS, Wujud Nyata Upaya Revitalisasi Budaya Membaca

Berdasarkan seluruh manfaat yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat kita nilai bahwa aktivitas membaca secara umum memiliki potensi yang sangat baik untuk diterapkan, termasuk sebagai upaya memperteguh toleransi di dalam masyarakat. Pertanyaan yang kini muncul ialah, “Apa yang dapat kita gunakan sebagai metode revitalisasi budaya membaca?”

Salah satu metode dengan potensi baik yang telah diterapkan pemerintah tetapi belum secara umum dikenali oleh masyarakat, adalah Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS merupakan program yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat, melalui peran serta warga sekolah, akademisi, dunia usaha dan industri, serta pemangku kepentingan, di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.12

GLS dilaksanakan dalam 3 tahapan diantaranya: tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran. Pada tahap pembiasaan, dilakukan penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Pada tahap pengembangan, dilakukan kegiatan menanggapi buku pengayaan untuk meningkatkan kemampuan literasi. Selanjutnya, pada tahap pembelajaran, dilakukan kegiatan dengan menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran. Selain itu, terdapat evaluasi dalam setiap tahapan yang dilakukan dengan menugaskan peserta didik untuk mengisi jurnal literasi.12

Meskipun saat ini GLS hanya diterapkan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, langkah ini tentu merupakan isyarat yang baik, bahwa program presisi yang melibatkan berbagai komponen masyarakat untuk menciptakan generasi literat di masa yang akan datang, sangatlah memungkinkan untuk diwujudkan. GLS dapat dimodifikasi atau dijadikan dasar pengembangan program baru di masa depan, agar penyebaran semangat literasi dapat menjangkau sasaran yang lebih luas. Namun perlu kita pahami, keberadaan program yang unggul pun tidak akan dapat menghasilkan pencapaian yang maksimal, tanpa semangat dan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, ayo dukung revitalisasi budaya membaca, ciptakan masyarakat cerdas, sadar dan toleran akan kekayaragaman bangsa, serta teguh dalam menghadapi kemajuan zaman!

 

Referensi

  1. Mazrieva E. Intoleransi di Indonesia Sudah Darurat? [Internet]. VOA Indonesia. 2016. Tersedia di: https://www.voaindonesia.com/a/intoleransi-di-indonesia-darurat/3643180.html
  2. Suryana W. Polri Catat 25 Kasus Intoleransi [Internet]. Republika Online. 2017. Tersedia di: http://www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/17/01/06/ojcjg625-polri-catat-25-kasus-intoleransi
  3. Siregar L. Penyebaran pesan intoleran cenderung meningkat di medsos [Internet]. BBC Indonesia. 2016. Tersedia di: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38247580
  4. Lestari R. Pasca Vonis Ahok, Masyarakat Jangan Mudah Terpengaruh Isu Intoleransi di Media Sosial [Internet]. news.okezone.com. 2017. Tersedia di: https://news.okezone.com/read/2017/05/12/338/1689240/pascavonis-ahok-masyarakat-jangan-mudah-terpengaruh-isu-intoleransi-di-media-sosial
  5. Weinbaum C, Girven R, Oberholtzer J. The Millennial Generation: Implications for the Intelligence and Policy Communities. Edisi ke-1. California: RAND Corporation; 2016.
  6. Chaturvedi S. Tolerance is The Highest Result of Education [Internet]. Infinity Speaks. 2017. Tersedia di: http://www.infinityspeaks.org/tolerance-highest-result-education/
  7. Cunningham A, Stanovich K. What Reading Does for the Mind. Journal of Direct Instruction. 2001;1(2):137–149.
  8. Wilson R, Boyle P, Yu L, Barnes L, Schneider J, Bennett D. Life-span cognitive activity, neuropathologic burden, and cognitive aging. Neurology. 2013;81(4):314-321.
  9. Williams C, Wilson P, Morrison J, McMahon A, Andrew W, Allan L et al. Guided Self-Help Cognitive Behavioural Therapy for Depression in Primary Care: A Randomised Controlled Trial. PLoS ONE. 2013;8(1):e52735.
  10. CCSU News Release. World's Most Literate Nations Ranked [Internet]. Webcapp.ccsu.edu. 2016. Tersedia di: http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data
  11. Bal P, Veltkamp M. How Does Fiction Reading Influence Empathy? An Experimental Investigation on the Role of Emotional Transportation. PLoS ONE. 2013;8(1):e55341.
  12. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah. Edisi ke-1. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; 2016.