Rabu, 12 Desember 2015... Pukul 12.00

Suara alarm ponsel membangunkan seorang laki-laki dari tidur siangnya yang tidak nyenyak. 

Perasaannya campur aduk! Tegang, bersemangat, takut, senang dan berbagai pemikiran berkecamuk dalam dirinya.

Bagaimana tidak, hari itu adalah hari pertamanya bertugas di unit gawat darurat sebuah rumah sakit daerah, sebagai dokter jaga. "Ah, masih jam 12.00, harusnya aku bisa tidur sebentar lagi," pikirnya. Tapi hal itu tidak ia lakukan. Otaknya terlalu aktif untuk melanjutkan tidur. Ia pun berdiri dan mempersiapkan diri.

Selama kurang lebih 30 menit, dia siap melangkahkan kakinya ke rumah sakit di mana dirinya akan mengabdi setahun penuh. 5 menit, waktu tempuh yang sangat pendek mengingat kos tempat dia tinggal berjarak sangat dekat dengan UGD.

Sesampai di lobi UGD, dia melihat sebuah mobil bak yang mengangkut dua pemuda berlumuran darah di seluruh tubuh sedang diturunkan. Dua orang petugas dengan sigap membawakan brankar dan segera mendorong kedua pemuda tadi ke dalam UGD.

"Hhhhh, apalagi yang bisa aku harapkan dari sebuah unit gawat darurat?" keluh sang laki-laki dalam hati. Hari pertama bertugas, ia sudah disambut dengan darah.

Dia pun masuk sembari menyapa beberapa petugas yang ada di lobi. "Jaga sore, Dok?" sebuah pertanyaan awal yang hampir selalu menjadi salam pertama para petugas UGD. "Iya Bli, jaga pertamax... Hahaha," sahut si lelaki dengan pendek sambil tersenyum.

UGD tempatnya bertugas termasuk luas dan sangat bersih untuk ukuran sebuah rumah sakit daerah. Lantai keramik berwarna putih dan lampu neon yang sangat terang. Ruangan terasa nyaman, tidak sumpek walau hampir tidak ada jendela sebagai jalur masuk cahaya matahari. Setiap tempat tidur pasien dilengkapi tirai pembatas dan berjejer rapi. Beberapa rak untuk obat dan alat kesehatan ditempatkan di posisi yang strategis sehingga mudah dijangkau petugas saat diperlukan. Juga sebuah meja kayu panjang berbentuk huruf L dimana dokter dan perawat menjejerkan catatan medis di atasnya.

Semuanya tertata rapi, berbanding terbalik dengan situasi ruangan saat itu: hiruk pikuk, teriakan pasien yg kesakitan, petugas yg hilir mudik untuk memeriksa dan melakukan tindakan medis, keluarga pasien dan dering telepon yg tidak pernah berhenti.

Hampir mirip situasi pasar. Bedanya di UGD ini tidak ada transaksi sembako...

Dr. R masuk menuju Nurse Station di belakang meja panjang, meletakkan tasnya dan meminta rekan sejawat untuk melakukan operan jaga. Sebuah ritual yang dilakukan petugas UGD setiap akhir dan awal shift. Orang yang bertugas di akhir shift akan memberi informasi kepada rekannya tentang situasi UGD saat operan. Baik jumlah pasien, pasien apa saja yg sedang ditangani, tindakan apa saja yg sudah diberikan dan lain sebagainya untuk dilanjutkan. Layaknya sebuah lomba estafet dimana pelari pertama mengoper tongkat untuk rekannya yang menunggu di depan untuk melanjutkan perjuangannya.

Selesai operan, dr. R pun mulai mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter UGD: memilah pasien mana yang didahulukan berdasarkan kegawatan, bukan hal-lain. Karena di UGD, waktu adalah hal yang paling berharga bagi pasien dengan kondisi kritis. Bukan uang, bukan jabatan.

Sang dokter itu melaksanakan tugasnya dengan sebaik, sehati-hati dan dengan secepatnya.

Peluhnya menetes, mulutnya kering, dan kakinya pegal karena tidak terasa sudah 4 jam dia berkeliling. Memeriksa pasien, memberikan instruksi kepada rekan perawatnya dan melakukan tindakan medis untuk menolong pasien yang datang. Sesekali dia dan perawat yang bertugas bersenda gurau, saling memberi suntikan moral yg sangat dibutuhkan disituasi yg sangat menguras tenaga dan pikiran seperti saat itu.

 

Pukul 18.00

Kelelahan sudah benar-benar menggerogotinya. Diambilnya botol air untuk sekedar membasahi tenggorokan. Saat itulah, sebuah mobil berdecit di depan lobi, membawa seorang korban jatuh dari pohon kelapa. Korban di gotong oleh keluarganya yang menangis, hampir meraung, berteriak meminta pertolongan.

Setengah berlari dr. R dan 3 orang perawat segera menghampiri pasien tersebut, petugas di lobi membawakan brankar dgn segera, "RESUSITASI!!!" hardik dr. R begitu mengetahui kondisi pasien yang tidak sadar.

Brankar pasien diposisikan di sebuah ruang khusus berbatas tirai di mana tindakan untuk kondisi yang mengancam nyawa dilakukan. Dengan sigap tiga orang perawat itu, tanpa aba-aba lain, tanpa berkoordinasi terlebih dahulu, mengambil tindakan berbeda yang diperlukan. Seorang memasang jalur infus, seorang memasang monitor paru dan jantung dan seorang lagi mengambil alat bantu pernapasan.

Dr. R melakukan pemeriksaan singkat dan saat mengetahui bahwa jantung pasien tidak berfungsi lagi dan sang dokter segera melakukan pijat jantung. Dilupakannya semua kelelahannya. Tenggorokannya tercekat, dadanya berdegup kencang, ketegangan menggerogotinya. Tangannya memompa dada pasien, kepalanya berpikir dengan cepat dan memberi instruksi kepada rekan perawatnya, teriakan dan raungan keluarga pasien sudah tidak ia dengar, saat itu fokusnya hanya berusaha menyelamatkan pasien yang ada di depannya.

 

Pukul 18.30

Selama 30 menit mereka berjuang...

Segala prosedur yang ada sudah mereka lakukan. Tapi apa daya, sebuah nyawa adalah titipan Tuhan, dan hanya Tuhan yang tahu kapan waktunya dikembalikan.

Pasien itu tidak berhasil diselamatkan.

Tangan dr. R gemetar, peluhnya menetes dan mentalnya terkuras habis. Tindakan barusan benar-benar melelahkan baginya yang baru pertama kali bertugas di UGD. Sebuah tindakan penyelamatan nyawa yang gagal dilakukannya.

Dr. R berjalan ke meja panjangnya, memanggil keluarga pasien yang bertanggung jawab dan menjelaskan kondisi pasien yang sudah tidak bernyawa, dan tidak berhasil diselamatkan. Teriakan tangis kembali terdengar, seorang wanita paruh baya meraung tak terkontrol. Menangis tersedu seolah tidak menerima kepergian pasien.

Dari penjelasan keluarga, dr. R mengetahui bahwa pasien terjatuh saat berusaha memetik kelapa yg rencananya digunakan untuk sesajen dengan posisi kepala menyentuh tanah terlebih dahulu.

Setelah menyampaikan bela sungkawa, dr. R pun kembali menangani pasien lainnya. Ia tidak memiliki waktu untuk terlalu lama merenung atas kejadian yang baru saja dialami. Dia harus tetap fokus demi pasien lainnya.

Dia bukan seorang sahabat yang duduk di sebuah ruangan untuk menemani kawannya berbincang dan berkeluh kesah, bukan seorang ayah yang memberikan semangat sepanjang malam pada anaknya yang baru saja tertimpa musibah.

Dia adalah seorang dokter unit gawat darurat yang bertugas untuk memberikan terapi dan tata laksana yang bersifat emergency, seorang manusia yang mendapat kesempatan untuk menolong orang banyak.

Tapi dia juga hanya seorang manusia biasa, bukan manusia bertangan Tuhan yang selalu berhasil melakukan setiap tindakan...