Wangaya Betan, sekitar tahun 1960.

02.00

Tergegas ia bangun. Cuci muka penghilang kantuk membawa wajahnya kembali pada kesegaran eksotis wanita Bali. Ia mempersiapkan segala sesuatu yang menurutnya bisa ditukar dengan uang. Lalu ke pasar. Berjalan bersandal jepit, atau kadang tanpa alas. Memikul beban berat dalam keranjang di atas kepala mungilnya. Kepala yang tak hanya memikirkan perutnya sendiri, tapi juga perut anak-anaknya. Perut suaminya. Perut kaum adatnya. Perut sesamanya. Semuanya harus diisi. Tanpa kecuali.

04.00

Menuju rumah mungilnya di tengah dusun. Kali ini isi keranjang di atas kepalanya tak sebanyak tadi. Sudah ada beberapa lembaran uang dalam kantung putih yang ia jahit  khusus di bagian dalam kain pelilit tubuhnya. Sambil berjalan, berpikir tentang pembagian lembaran-lembaran yang didapatnya tadi. Untuk mengebulkan asap dapur. Untuk sekolah anak laki satu-satunya. Untuk kain penutup tubuh anak perempuannya yang beranjak dewasa. Untuk rokok mertuanya. Atau untuk tajen suaminya.

05.00

Dapur sudah penuh asap. Dalam dandang di bawah pengukus nasi sudah dia celupkan sayur pakis yang dia petik sepanjang jalan pulang dari pasar. Juga dia celupkan sebutir telur penambah gizi yang tentunya harus dibagi-bagi. Ia bangunkan semua orang yang asyik terlelap dalam selimut. Mengakhirinya dengan dingin pagi menembus tulang.

06.00

Suaminya ke sawah. Anak lakinya ke sekolah. Anak perempuannya ke sungai. Cari uang. Cari ijazah. Cari air. Semua dibawah manajemennya. Dan dia sibuk mempersiapkan perlengkapan upacara. Untuk keluarganya sendiri. Untuk tetangganya. Tak diupah. Katanya, "ini balas budi."

12.00

Keranjang itu dijunjung lagi. Dibawanya nasi, semangkuk sayur dan sepotong daging babi untuk makan suaminya. Kali ini bibir tipisnya sambil bersungut-sungut seperti tak rela. Ya, terkadang suaminya pun bisa 'ngambek' bila setelah hari raya tidak ada daging untuknya. Tapi apa daya ia hanya seorang perempuan yang telanjur mencintai suaminya dengan segala kesetiaan dan ketaatannya.

13.00

Dengan arit di tangan ia bantu suaminya. Menyiangi padi, mencari rumput, mencari cempaka, atau mencari buah-buahan untuk dijual ke pasar esok hari. Asalkan niat mencari, pekerjaan selalu tersedia di depan matanya. Seolah tak ada sedetikpun waktu yang sia-sia dalam hidupnya.

16.00

Keranjang yang tampaknya selalu penuh itu ia bawa kembali ke rumah mungilnya. Rumah berdinding tanah yang beberapa waktu lalu sempat roboh diterjang badai itu baru saja didirikan kembali dengan bambu dan anyaman daun kelapa oleh suaminya. Rumah barunya memang tidak terlalu kokoh. Tidak jika dibandingkan ketegaran hatinya saat seluruh penduduk dusun mencemooh dan bahkan risih dengan adanya satu-satunya korban bencana di desa mereka. Kadang-kadang sesuatu yang diluar kejadian biasa berakhir menjadi buah bibir. Sayang, yang lebih sering dijadikan topik justru akar penyebab apa yang mereka kira janggal, bukan malah solusinya.

17.00

Ia sudah merencanakan sesuatu ketika mendengar akan ada tajen di rumah sebelah. Sambil dibantu anak gadisnya ia susun meja beserta isi dagangannya. Di sela-sela suasana orang metajen, ia sempatkan bekerja dengan membuatkan secangkir kopi atau sekedar menghilangkan lapar para petajen dengan bubur beralaskan daun pisang. Permainan judi seperti ini kadang menjadi rezeki baginya. Tapi bermain judi bukanlah sesuatu yang akan ia lakukan dengan masa depan anak-anaknya. Dalam benaknya, jangankan masalah uang, sudah ia jamin tak akan ada alasan anaknya tidak bisa bersekolah. Buta pendidikan ia cukupkan hanya sampai padanya, tidak untuk keturunan-keturunannya.

20.00

Baginya hari itu cepat sekali berlalu. Tiba saatnya ia kembali dan beristirahat untuk mempersiapkan hari esok yang kurang lebih akan sama lelahnya. Dia akhiri hari itu dalam pondok darurat yang hanya cukup diisi bertiga dengan anak-anak gadisnya. Sementara suami dan anak lelakinya tidur di luar di bawah dingin malam bercahaya purnama.

- Untuk mengenang almarhum Mbah yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Wangaya Betan. Saya mencoba merangkai cerita ini dari potongan-potongan cerita yang saya dapat dari bibi, orangtua, tetangga, saudara, dan sahabat-sahabat Mbah. Dari potongan cerita yang saya dapat, saya berkesimpulan bahwa hidupnya sendiri terlalu penuh dengan cerita sehingga ia sendiri lupa untuk berbagi dengan cucunya. Seperti kata Oka Rusmini dalam novelnya, Tarian Bumi, 

Perempuan Bali itu perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri".