Fajar masih malu-malu menampakkan dirinya ketika Ardi tiba di vila tua itu. Kabut tipis menyelimuti pepohonan di sekitar, membuat suasana terasa dingin dan sunyi. Ardi melepaskan kopernya, melihat ke arah pintu kayu yang sedikit lapuk. Di depan pintu, ada lukisan kecil berbingkai kayu, menggambarkan sepasang burung merpati yang tengah terbang di langit biru.

Dia menarik napas panjang, membuka pintu, dan masuk ke dalam vila. Udara di dalam terasa lembap, aroma kayu tua memenuhi ruangan. Ardi menyalakan lampu meja di ruang tamu, memperhatikan interior vila yang sederhana tapi terawat. Ada sofa berbahan kulit, meja kayu jati, dan beberapa lukisan tua tergantung di dinding. Salah satu lukisan menarik perhatiannya: gambar seorang wanita muda berdiri di tepi danau, dengan tatapan yang penuh kerinduan.

Ardi meletakkan kopernya di kamar tidur. Kamar itu juga tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Ada tempat tidur king size dengan selimut putih yang bersih, dan jendela besar yang menghadap ke hutan pinus di belakang vila. Dia membuka jendela, membiarkan udara segar pagi masuk, sambil memejamkan mata, merasakan angin pagi yang menyejukkan.

Ardi datang ke vila ini untuk mencari ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kota dan kenangan buruk yang masih menghantuinya. Di kepalanya, masih terbayang wajah Lena, mantan tunangannya yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Rasanya baru kemarin mereka merencanakan masa depan bersama, tapi kini semua itu hanya tinggal kenangan pahit.

Dia duduk di sofa, memandang ke arah lukisan wanita di tepi danau. Ada sesuatu yang aneh tentang lukisan itu, seolah-olah wanita dalam lukisan hidup dan bisa merasakan penderitaan Ardi. Matanya yang sendu seperti mengikuti setiap gerakannya.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ardi. Dia membuka pintu, melihat seorang pria tua berdiri di depannya. Pria itu tersenyum ramah, membawa keranjang kecil berisi buah-buahan segar.

“Selamat pagi, Pak. Saya Jono, penjaga vila ini. Saya bawakan buah segar untuk sarapan,” kata pria itu.

“Terima kasih, Pak Jono. Silakan masuk,” kata Ardi, mempersilakan pria tua itu masuk.

Pak Jono meletakkan keranjang di meja makan, lalu duduk di kursi di seberang Ardi. Mereka berbincang sebentar, membicarakan hal-hal ringan tentang vila dan desa kecil di sekitar hutan.

“Pak Jono, saya ingin bertanya tentang lukisan di ruang tamu. Wanita di tepi danau itu, siapa dia?” tanya Ardi, penasaran.

Pak Jono tersenyum tipis, seolah mengingat sesuatu yang jauh di masa lalu. “Ah, itu cerita lama, Nak. Wanita itu namanya Sari. Dia adalah putri dari pemilik pertama vila ini. Konon katanya, dia menunggu kekasihnya yang pergi berperang dan tak pernah kembali. Setiap hari dia berdiri di tepi danau, berharap kekasihnya pulang. Tapi, sampai akhir hidupnya, dia tetap menunggu di sana.”

Ardi terdiam, merasakan getaran aneh di hatinya. Cerita itu terasa begitu dekat dengan apa yang dia rasakan. Rindu yang tak terbalas, harapan yang kandas di tengah jalan.

“Banyak yang bilang, lukisan itu menyimpan kesedihan Sari. Katanya, siapa pun yang melihat lukisan itu bisa merasakan penderitaannya,” lanjut Pak Jono.

Malam harinya, Ardi duduk di ruang tamu, memandangi lukisan Sari. Suara jangkrik dan burung malam terdengar sayup-sayup dari luar jendela. Ardi merasa, semakin lama dia memandang lukisan itu, semakin kuat perasaan rindu dan kehilangan yang dia rasakan.

Di tengah malam, ketika rasa kantuk mulai menguasai, Ardi melihat sesuatu yang mengejutkan. Lukisan itu bergerak. Sari, wanita dalam lukisan, perlahan-lahan mengangkat tangannya, seolah-olah mengajak Ardi untuk mendekat. Ardi mengusap matanya, berpikir ini hanya ilusi karena kelelahan. Namun, Sari terus bergerak, danau di belakangnya berkilau seolah terkena sinar bulan.

Tanpa sadar, Ardi berdiri dan mendekati lukisan itu. Suara lirih terdengar dari arah lukisan, suara tangisan yang pelan tapi memilukan. Ardi merasa tertarik, seperti ada kekuatan tak terlihat yang membawanya masuk ke dalam dunia lukisan. Dalam sekejap, dia merasakan kakinya menyentuh tanah berumput, angin sepoi-sepoi meniup wajahnya. Dia berdiri di tepi danau, dengan Sari di depannya.

“Sari?” bisik Ardi, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sari menoleh, menatap Ardi dengan mata penuh harap. “Kamu datang,” katanya pelan.

Ardi merasakan hatinya berat. “Aku merasakan penderitaanmu. Aku juga merindukan seseorang.”

Sari tersenyum lemah. “Rindu itu berat, tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada harapan yang tak pernah terjawab.”

Ardi menunduk, merasa kata-kata Sari menusuk jauh ke dalam hatinya. Dia tahu, dia harus melepaskan Lena, seperti Sari harus melepaskan kekasihnya yang tak pernah kembali. Dia menatap Sari, merasa seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

“Kita harus belajar merelakan, Sari. Hanya dengan merelakan, kita bisa menemukan kedamaian.”

Sari mengangguk pelan. “Terima kasih, Ardi. Kamu telah membantu aku menemukan kedamaian.”

Lukisan itu perlahan memudar, dan Ardi merasakan dirinya kembali ke ruang tamu vila. Dia terduduk di lantai, merasa ringan, seolah beban yang dia pikul selama ini telah hilang. Dia menatap lukisan yang kini terlihat normal, tanpa pergerakan aneh.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Ardi bisa tidur dengan tenang. Dia tahu, di pagi hari, dia akan siap memulai hidup baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghantui.