“Cuit… cuit…!”

“Hi, cantik! Ih, sombong amat!”

“Boleh minta nomor teleponnya, nggak?”

“Stt.. sttt…, lagi ngapain, cantik? Aku temenin, ya!”

 

Kata-kata itu sangat sering dilontarkan kepada saya saat melewati sejumlah laki-laki di jalan, mulai dari siswa sekolah dasar, sepantaran, hingga bapak-bapak kernet transportasi umum. Apakah saya geram? Tentu! Bahkan pada situasi yang telah melewati batas wajar, saya merasa ada harga diri yang hendak dilangkahi. Bagaimana dengan kalian? Pernahkah mengalami kejadian serupa? Atau kalian merupakan salah satu pelakunya? Tahukah kalian bahwa tindakan tersebut tergolong pelecehan seksual?

Fenomena pelecehan seksual di jalan yang sering disebut dengan sexual street harassment biasanya dialami oleh perempuan sejak usia 11-17 tahun. Bahkan lebih dari 50% di antaranya termasuk pelecehan fisik dan sisanya mendapat pelecehan verbal dan visual. Pelecehan seksual yang dilakukan secara verbal atau lisan biasanya memuat  komentar yang tidak diinginkan yang salah satunya tergolong dalam perilaku catcalling.

Catcalling adalah perilaku bertendensi seksual yang biasanya dilontarkan dengan volume yang cukup keras. Perilaku catcalling dapat berupa siulan, berseru, memberikan gestur, serta memberikan komentar kepada perempuan yang sedang melintas di jalan. Pada umumnya, catcalling dilakukan oleh laki-laki sehingga membuat perempuan merasa tidak nyaman. Seringkali, catcalling ini dianggap sebagai masalah remeh karena tidak memberikan dampak yang terlihat secara jelas dari para korbannya. Hal ini membuat catcalling menjadi dimaklumi secara kultural bahkan dinormalisasi oleh masyarakat. Padahal, tanpa disadari catcalling merupakan bentuk “pengebirian” baru terhadap perempuan oleh bahasa laki-laki.

           

Makna “Pengebirian Perempuan oleh Bahasa Laki-Laki”

Frasa Pengebirian Perempuan diciptakan oleh Germaine Greer melalui buku berjudul The Female Eunuch yang ditulisnya pada tahun 1970. Frasa ini mendeskripsikan bahwa perempuan  sebagai Other (yang lain) untuk menyatakan bahwa nasib perempuan dibentuk dan dilemahkan oleh tindakan destruktif dari laki-laki dalam masyarakat kekinian yang menghambat kontak perempuan dengan lingkungan sekitarnya.

Sedangkan bahasa laki-laki atau dalam istilah feminisme disebut patriarki merupakan penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki yang hanya menggunakan sudut pandang dari para laki-laki saja. Shirley Arderer, salah seorang peneliti antropologi menyatakan bahwa ‘ucapan perempuan’ muncul karena laki-laki  memberikannya label ‘perempuan’.  Label  tersebut mencakup kata-kata yang secara umum merujuk pada istilah sapaan, dan kalimat-kalimat idiom (kelompok kata yang dirangkai dengan susunan tertentu dimana artinya tidak dapat ditebak dari arti kata-kata penyusunnya secara terpisah). Permasalahannya adalah bentuk-bentuk kalimat tersebut mencakup formasi konsep di dalam kerangka pemikiran yang dikonstruksi oleh laki-laki tanpa mempertanyakan kesediaan perempuan dalam mendapatkan label tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan telah terpisah dari seksualitas mereka seolah-olah sedang dikebiri di peternakan. Fenomena catcalling dapat merepresentasikan penggunaan label tentang perempuan yang diucapkan oleh laki-laki yang membuat perempuan terputus dari kapasitasnya untuk melakukan aksi. Laki-laki menunjukkan keberaniannya di jalan untuk mendapatkan sebuah kenikmatan dan kesegaran yang sangat tidak menyenangkan bagi perempuan, sedangkan perempuan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan timbal balik karena berada pada posisi yang disudutkan.

 

undefined

 Sumber Ilustrasi

 

Mengapa Catcalling Bisa Terjadi?

Salah satu teori yang menjadi landasan pemikiran saya dalam menanggapi fenomena ini adalah feminisme posmodern Luce Irigaray, seorang feminis Prancis. Pemikiran Luce Irigaray dipengaruhi oleh sejumlah tokoh lainnya yang juga memberikan pandangan mengenai gender. Tokoh pertama adalah Sigmund Freud yang menganggap bahwa posisi perempuan sebagai gender kedua tidak dapat dihindari karena tidak adanya penis pada perempuan. Lho, kok bisa? Ini karena penis dianggap sebagai simbol inferioritas dan keotoritasan. Tokoh lainnya adalah Jacques Derrida, bahasa bagi Derrida tidak memberikan makna maupun konsep dan esensi objek apa-apa pada manusia yang dengan cara tertentu berada di luar bahasa itu. Alasannya adalah karena menurut Derrida satu-satunya bahasa yang tersedia adalah model pemikiran dan bahasa laki-laki serta ditandai oleh bagian yang membatasi pikirannya.

Irigaray kemudian sadar terdapat permasalahan bahwa konsep-konsep psikoanalisis dan filsafat tersebut merupakan hasil konstruksi tokoh-tokohnya dalam bahasa dan cara pandang lelaki serta dibiasi dengan maskulinitas di dalamnya. Hal ini sangat berkaitan dengan catcalling dimana saya meyakini bahwa konstruksi sosial masyarakat tentang laki-laki sebagai gender pertama membuat laki-laki memiliki lebih banyak keberanian untuk menunjukkan seksualitas dan maskulinitasnya melalui berbagai bahasa berupa siulan, julukan, komentar, dan sapaan untuk perempuan sehingga terlihat jelas bahwa perempuan adalah gender kedua di mata masyarakat.

Ketika pelaku catcalling mendefinisi perempuan di jalan, maka dengan cara apapun laki-laki mendefinisikan perempuan, maka akan tetap menciptakan kembali feminim yang dibentuk dari model pemikiran laki-laki. Sebagai contoh, memberikan sapaan “Hi, Cantik!” secara harfiah memang sebuah bentuk pujian. Namun jika diinterpretasikan lebih lanjut, pengucapan dengan tendensi seksual sama saja dengan menjebak perempuan ke dalam suatu sistem representasi maskulin yang berfungsi melayani laki-laki sebagai subyek, sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Ketika laki-laki merasa dilayani, maka mereka akan mendapatkan kepuasan. Kepuasan ini yang menyebabkan catcalling dilakukan secara berulang dan menjadi budaya laki-laki yang dimaklumi masyarakat.

 

Bagaimana Catcalling Mengebiri Perempuan?

Bahasa laki-laki dalam catcalling juga dapat memunculkan cara pandang yang melekatkan laki-laki sebagai pencipta bahasa. Ini menyebabkan perempuan tidak memiliki bahasanya sendiri untuk memberikan timbal balik. Bahasa yang selama ini digunakan dan dituturkan tidak lain merupakan produk dari pemikiran laki-laki yang tidak dapat mewakili feminitas perempuan sedikitpun. Buktinya, mayoritas perempuan yang menjadi korban memilih diam dan memendam kekesalannya sendiri semata-mata karena tidak memiliki bahasa yang sesuai untuk dijadikan timbal balik.

Selain itu, catcalling dapat membuat perempuan merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri.  Perempuan akan menjadi sangat berhati-hati dalam berpenampilan dan memiliki keterbatasan dalam menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Perempuan yang kesehariannya menunjukkan sikap ceria seketika dapat berubah dan memilih hanya menundukkan wajahnya saat berjalan melewati kerumunan laki-laki.  Padahal laki-laki tidak seharusnya menjadi orang yang ditakuti ketika kesetaraan gender telah banyak digaungkan di era ini.

Catcalling juga berpengaruh pada kondisi psikis perempuan. Perempuan dengan kondisi mental yang tidak cukup kuat dapat menjadi sangat takut untuk bepergian sendiri. Akibatnya, pikiran masyarakat akan terkonstruksi bahwa bepergian sendiri adalah pilihan yang salah bagi perempuan, terlebih lagi jika pergi hingga malam hari. Hal ini berisiko mengurangi produktivitas perempuan. Akhirnya perempuan akan semakin dianggap berada pada kondisi yang lemah dan tidak mampu hidup mandiri.

Lalu, bagaimana jika perempuan menggunakan pakaian yang mengundang laki-laki melakukan catcalling? Bagi saya, tidak ada jenis pakaian yang “mengundang” selama laki-laki tidak menganggap perempuan sebagai objek seksualitas mereka. Jika perempuan menggunakan pakaian terbuka, maka biarkan norma agama yang dilanggarnya akan mendatangkan karma. Laki-laki terlebih yang tidak dikenal sama sekali tidak berhak menghakiminya. Ingat! Pelanggaran tidak boleh dibalas dengan pelanggaran lainnya. Di samping itu, perlu kita ketahui bahwa tidak sedikit korban catcalling adalah perempuan berpakaian rapi dan tertutup. Maka jangan jadikan pakaian perempuan sebagai pembenaran perilaku catcalling.

 

undefined

Sumber Ilustrasi

 

Kita Bisa Akhiri Pengebirian Jenis Ini

Saya sungguh percaya fenomimena ini dapat diminimalisir. Maka saya merumuskan sejumlah solusi yang dapat diterapkan untuk meminimalisir tindakan catcalling. Pertama, membentuk kaidah bahasa baru yang diciptakan berdasarkan prinsip perbedaan seksual. Kebiasaan penggunaan bahasa oleh laki-laki yang bersifat menyudutkan perempuan harus dihapuskan. Dimulai dari edukasi di Lembaga Pendidikan yang mendidik para siswa agar menggunakan bahasa sebagaimana maknanya secara harfiah dan tidak dibumbui oleh unsur-unsur bertendensi seksual yang timpang gender.

Kedua, menerapkan pola relasi baru yang bersifat intersubjektif untuk menghargai adanya perbedaan jenis kelamin sehingga tidak saling mengobjekkan maupun saling mengaku sebagai subjek. Pola relasi ini dapat diwujudkan melalui internalisasi nilai yang mengandung hak masing-masing gender yang dituangkan baik dalam pendidikan di keluarga, hukum, maupun lembaga pendidikan. Jika antar gender saling menghargai, maka tindakan catcalling tidak akan marak lagi.

Ketiga, memberikan dukungan kepada pemerintah untuk meningkatkan kekuatan hukum tentang pelecehan seksual. Berkaitan dengan ini, hukum yang berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289-296 tentang perbuatan yang melanggar kesusilaan, keji, dan dalam nafsu birahi. Namun aturan ini belum memberikan batasan yang cukup jelas dan belum memberikan jawaban yang kuat apakah catcalling termasuk di dalamnya. Kendati demikian, pelaporan tindakan catcalling kepada pihak berwajib tetap diperlukan sebagai bentuk dukungan dan bukti yang dapat kita tunjukkan kepada pemerintah bahwa catcalling telah menjadi fenomena yang berbahaya serta meresahkan sehingga harus diberantas bersama.

 

Referensi;

 

Buku :

Brower, M. & Sidharta, M. (1989). Kegelisahan Seorang Feminis. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.

Gamble, S. (2010). Feminisme & Postfeminisme. Yogyakarta : Jayasutra

Humm, M. (2002). Ensiklopedia Feminisme. Banguntapan : Fajar Pustaka Baru.

Rueda, M., Rodriguez, M., & Watkins, A. (2007). Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book

Tong, R. (1998). Feminist Thought. Yogyakarta : Jalasutra.

 

Jurnal & Makalah :

Ade, M., Duto, D., & Harendza, J. (2017). Perancangan Kampanye Sosial “JAGOAN”. Universitas Kristen Petra

Akbar, B., Kasman, T., & Nurhijrah. (2018). Relevansi Pemikiran Irigaray Terhadap Arsitektur [versi elektronik]. Jurnal Nasional Akademik Arsitektur, 5(2), 143-155

Faqih, K. (2016). Perempuan dalam Bahasa Patriarkal. Makalah

 

Internet :

CNN Indonesia. (2016). Kekerasan Perempuan. Diakses pada 23 Juni 2019 melalui https://m.cnnindonesia.com/tag/kekerasan-perempuan

KOMNAS Perempuan. (2018). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018. Diakses pada 23 Juni 2019 melalui http://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2018