Budaya Nusantara.

Mendengar istilah tersebut, hal pertama yang terbesit dalam pikiran kita tentunya tarian, kesenian, bahasa, maupun pakaian daerah. Namun sesungguhnya budaya tidak sedangkal itu. Budaya merupakan segala sesuatu bernilai luhur yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi identitas suatu komunitas atau bangsa. Ini berarti, nilai-nilai seperti gotong royong dan Bhinneka Tunggal Ika pun merupakan bagian dari Budaya Nusantara yang patut kita lestarikan.

undefined

Sumber : tempo.co     

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan ini diciptakan oleh para pendiri bangsa Indonesia, tentunya dengan harapan agar Indonesia dapat menjadi negara yang utuh terlepas dari keberagaman yang dimiliki. Melihat hal di atas, sudah sepantasnya semangat Bhinneka Tunggal Ika tercermin dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai tanda bahwa kita bangga terhadap keanekaragaman yang kekayaan yang dimiliki oleh bangsa kita sendiri.

Namun, apabila kita melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini, nampaknya hal di atas sudah sangat jarang atau bahkan tidak bisa kita temui lagi. Isu toleransi dan polemik berbau SARA sudah menjadi perbincangan hangat sehari-hari kita selama beberapa tahun ke belakang, dan tidak kunjung mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Mirisnya, lembaga Social Progress Imperative menempatkan Indonesia di peringkat 117 dari 128 negara dalam hal toleransi. Ini berarti negara kita termasuk ke dalam 15 negara paling intoleran di dunia.1

undefined

sumber: indovoices.com

Baru-baru ini kita disuguhkan dengan kasus SARA penolakan pembangunan pura di daerah Sukatani, Bekasi. Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran dalam kasus ini melibatkan melibatkan banyak pihak, bahkan terdapat oknum warga yang memasang baliho penolakan dengan yang ditandatangani puluhan hingga ratusan warga.

Usut punya usut, alasan dibalik penolakan ini adalah karena perbedaan agama.2 Tingginya penggunaan sosial media membuat kasus ini menjadi semakin viral, dan semakin banyak masyarakat yang berlarut-larut terlibat dalam polemik SARA ini. Masyarakat yang merasa “memiliki kebebasan berpendapat” tentunya ingin terlibat dan menyampaikan isi pikiran mereka melalui berbagai media, tanpa bisa kita ketahui apakah pendapat yang mereka suguhkan didasari oleh fakta atau hanya karangan fiktif belaka. Lebih parahnya lagi, kejadian-kejadian seperti ini masih saja terjadi satu tahun setelah pemerintah dan para pemuka agama melaksanakan Musyawarah Besar Pemuka Agama pada bulan Februari 2018.

Sesungguhnya, terlepas dari siapa yang sebenarnya bersalah dalam kasus ini, ada satu masalah pokok yang dari dulu hingga sekarang tidak bisa kita atasi bersama, yakni masalah toleransi. Sampai kapankah kita harus terkotak-kotak dan selalu mengagung-agungkan kelompok kita saja, tanpa menghargai dan hidup rukun bersama kelompok lain? Sampai kapan makna Bhinneka Tunggal Ika yang begitu dalam hanya menjadi sebuah kata-kata tanpa implementasi yang nyata? Apakah semangat persatuan yang dulu mendarah daging pada leluhur kita, kini justru terasing pada jiwa penerus bangsa?

Meskipun masalah ini masih sangat sulit untuk bisa diselesaikan, namun bukan berarti tidak ada solusi dalam menanganinya. Sebelum mengetahui solusi apa yang efektif untuk meningkatkan toleransi pada masyarakat generasi digital  saat ini, kita perlu memetakan hal-hal yang dapat menjadi penyebab rendahnya toleransi di Indonesia.

Berdasarkan data dari Reformed Center for Religion and Society, rasa superioritas dan fanatisme berlebihan dari suatu kelompok masyarakat merupakan salah satu faktor utama penyebab intoleransi di Indonesia. Selain itu, kurangnya Wawasan Nusantara juga dianggap menjadi penyebab utama kurangnya penerimaan masyarakat terhadap perbedaan yang ada di lingkungannya.3,4 Sejalan dengan pernyataaan di atas, banyak pula tokoh besar dunia yang berpendapat, “Semakin baik wawasan seseorang, maka semakin luas cara pandang mereka, dan semakin toleran pula mereka terhadap perbedaan”.5 Hal ini memiliki arti bahwa sebenarnya permasalahan intoleransi dapat diatasi dengan meningkatkan rasa cinta tanah air.

Pentingnya Wawasan Nusantara dan Menggiatkan Budaya Cinta Tanah Air dalam Meningkatkan Toleransi

undefined

sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan negara asing untuk masuk dan mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Disinilah wawasan nusantara berperan sebagai cara pandang dan sikap bangsa agar senantiasa saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai toleransi untuk menjaga persatuan negara Indonesia dan mencapai ketahanan nasional. Berbicara mengenai ketahanan nasional, banyak yang menitikberatkan kekuatan militer dibandingkan hal lain dalam mencapai ketahanan nasional.

Namun, perlu kita ketahui bahwa ketahanan nasional Indonesia sebagai negara multikultural tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan militer saja. Keserasian ideologi, politik, sosial budaya, dan tentunya nilai toleransi juga memiliki peran yang penting dalam ketahanan nasional.6 Sedikit saja gesekan terhadap SARA, kondisi ketahanan nasional Indonesia dapat terganggu. Untuk itu, Wawasan Nusantara-lah yang dapat menjadi solusi untuk menghindari pertikaian dan tetap menjadi pedoman bangsa demi tercapainya tujuan nasional.

Wawasan Nusantara dan rasa cinta tanah air merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Melalui Wawasan Nusantara, kita akan paham akan kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia dan menyadarkan kita untuk selalu menjunjung nilai toleransi untuk mencapai tujuan nasional. Dan untuk memahami Wawasan Nusantara, tentunya kita harus memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan, meningkatkan rasa cinta tanah air akan membuat kita menjadi lebih paham akan pentingnya nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cinta tanah air sendiri berarti suatu sikap mencintai bangsa dan negara tanpa mengenal fanatisme kedaerahan. Cinta tanah air juga merupakan perilaku yang menunjukkan kepedulian, penghargaan, dan rasa bangga yang dilandasi semangat kebangsaan serta rela berkorban demi nusa dan bangsa. Rasa cinta tanah air dapat ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti mengutamakan produk dalam negeri, mengabdi sesuai profesi masing-masing untuk kemajuan bangsa dan negara, menjaga kelestarian lingkungan, serta mengenal wilayah tanah air tanpa fanatisme kedaerahan. Sikap cinta tanah air ini seharusnya menjadi suatu budaya (suatu pengetahuan, seni, nilai, norma, moral, adat, dan pembawaan lainnya yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi identitas suatu masyarakat7) yang ditanamkan sejak dini kepada seluruh bangsa.

Akan tetapi, kuatnya arus modernisasi dan globalisasi perlahan mengikis budaya cinta tanah air yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia. Lunturnya budaya cinta tanah air inilah yang menyebabkan kurangnya “sense of belonging” bangsa Indonesia, yang menimbulkan krisis identitas dan menyebabkan fanatisme kedaerahan kembali naik dan memecah belah kedaulatan Indonesia. Untuk itu, budaya cinta tanah air perlu digiatkan kembali, agar bangsa Indonesia kembali paham bahwa terlepas dari perbedaan yang kita miliki, kita memiliki satu identitas yang sama, yaitu Indonesia.

undefined

sumber: liputan6.com

Tidak sulit untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air. Mulai dari mengerti akan sejarah bangsa, mengikuti upacara bendera dengan khidmat, tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan barang produksi dalam negeri, bergaul dengan teman tanpa membedakan suku maupun agama, serta menjaga budaya kita sendiri sebagai identitas bangsa kita.

Mari budayakan rasa cinta tanah air, junjung tinggi toleransi, untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu dalam perbedaan! Bhinneka Tunggal Ika!

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Gerintya S. Benarkah Intoleransi Umat Beragama di Indonesia Meningkat. 2018 [diakses pada 5 September 2018]. Tersedia di: https://tirto.id/benarkah-intoleransi-antar-umat-beragama-meningkat-cEPz
  2. Detik.com. Rencana Pembangunan Pura di Sukatani Bekasi Ditolak Warga. [diakses pada 5 September 2018]. Tersedia di: https://news.detik.com/berita/d-4539725/rencana-pembangunan-pura-di-sukatani-bekasi-ditolak-warga
  3. Sumarsono, S, et.al. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 12-17.
  4. Hutabarat BA, Panjaitan HH. Tingkat Toleransi di Indonesia. 2017 [diakses pada 5 September 2018]. Tersedia di: https://www.reformed-crs.org/ind/research/30.html.
  5. Suwardiyamsyah. Pemikiran Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Toleransi Beragama. Jurnal Al-Irsyad. 2017;8(1):115-27.
  6. Budisantoso. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dalam Kehidupan Nasional dan Perencanaan Pembangunan. Jurnal Ketahanan Nasional. 1997;2(3):31-42.
  7. Eviyanti S. Taman Budaya Kalimantan Tengah. 2010 [diakses pada 6 September 2018]. Tersedia di: http://e-journal.uajy.ac.id/2374/3/2TA12077.pdf.