Jika kita mendengar kata “Kuta” yang pertama kali terbesit di benak kita adalah keindahan pantainya, hiruk pikuk kehidupan dunia malam serta pengaruh globalisasi yang sangat pesat. Jika kita menelusuri Kuta hingga ke bagian akarnya kita tidak akan mengatakan bahwa Kuta telah sepenuhnya terpengaruh oleh budaya kebarat-baratan dan termakan arus globalisasi. Di Kecamatan Kuta terdapat sebuah desa yang masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta tradisi yang mereka miliki walaupun desa tersebut termasuk desa yang sudah berkembang sangat pesat terutama di bidang pariwisata.

Ya! Desa Adat Kedonganan, salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dengan luas wilayah sekitar 1km2. Kedonganan adalah sebuah desa pesisir di mana batas barat dan timur desa diapit oleh laut Bali. Sektor perikanan dan kelautan berkembang dengan baik terutama di laut bagian barat. Desa Adat Kedonganan juga memiliki tempat pelelangan ikan (TPI) yang menampung ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan.

 

 undefined

Sumber : www.balilondon.id

 

Desa Adat Kedonganan dalam perkembangannya telah mampu membangun ikonnya sendiri sebagai kampung nelayan dengan sentra usaha perikanan dan kelautan terbesar di Bali. Selain itu, Desa Adat Kedonganan juga memiliki beberapa warisan–warisan budaya baik berupa tradisi ataupun berupa karya seni. Salah satu tradisi yang menjadi warisan masyarakat Desa Adat Kedonganan adalah Tradisi “MEBUUG-BUUGAN”.

Apa itu tradisi mebuug-buugan?

Secara etimologi Mebuug-buugan berasal dari kata “bug” yang berarti tanah atau lumpur dan “bhu” yang artinya ada atau wujud, berafilasi menjadi kata “bhur” yang artinya bumi, tanah atau pertiwi sehingga awalan me- menjadi sebuah kata kerja atau aktivitas. Dapat diartikan bahwa tradisi mebuug-buugan berarti sebuah interaktivitas dengan menggunakan media tanah atau lumpur (buug).

Tradisi mebuug-buugan awalnya dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Nyepi atau Tilem Kesanga, karena perayaan Nyepi terdahulu di Desa Adat Kedonganan diperbolehkan melakukan aktivitas. Namun, sejak tahun 1960 tradisi mebuug-buugan dilaksanakan pada saat perayaan Hari Ngembak Geni (sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi). Hal tersebut dikarenakan adanya seruan atau himbauan dari Parisada bahwa pada saat Hari Raya Nyepi tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun. Letusan gunung tertinggi di Bali yaitu Gunung Agung pada tahun 1963 dan terjadinya peristiwa G/30/S PKI pada tahun 1965 sekaligus menjadi saksi bisu berhentinya pelaksanaan tradisi mabuug-buugan di Desa Adat Kedonganan.

 

 undefined

 Sumber : bali-travelnews.imediamu.com

 

Bagaimana proses pelaksanaannya?

Peserta tradisi mebuug-buugan berasal dari seluruh lapisan masyarakat Desa Adat Kedonganan, dari anak-anak hingga orang dewasa pun ikut serta dalam pelaksanaan tradisi mebuug-buugan. Tradisi ini, diawali dengan berkumpulnya masyarakat di depan Pura Bale Agung Desa Adat Kedonganan, dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju hutan mangrove (ke arah timur) yang berada di dekat Pura Dalem Desa Adat Kedonganan, selanjutnya masyarakat akan diberikan pengarahan sekaligus pemercikan tirta oleh Pemangku Adat setempat, setelah itu masyarakat dipersilahkan turun menuju kedalam hutan mangrove selanjutnya seluruh badan dilumuri oleh buug atau lumpur yang terdapat di hutan mangrove yang dimaknai sebagai perwujudan Bhuta Kala atau kekotoran yang melekat dalam badan kasar manusia.

Tradisi dilanjutkan dengan masyarakat yang berbondong-bondong menuju Pantai Kedonganan (ke arah barat) dengan keadaan tubuh yang dilumuri oleh lumpur. Dalam perjalanan menuju pantai masyarakat diperbolehkan untuk melumuri lumpur kepada masyarakat setempat yang mereka temui sepanjang perjalanan menuju pantai. Sesampainya di pantai masyarakat mebasuh badan mereka dengan air laut (melukat). Untuk menghilangkan kekuatan Bhuta Kala dalam Bhuana Alit (badan kasar manusia), maka dilakukan pembersihan dengan melaksanakan tapa brata yoga semadi melalui catur brata penyepian, yang secara kasat mata dengan memohon anugerah dari kekuatan laut (segara) yang berfungsi sebagai kekuatan penyempurnaan, maka dari itu setelah masyarakat selesai melakukan pembersihan badan (melukat) Pemangku Adat setempat memercikan tirta kepada seluruh masyarakat sebagai simbol pembersihan diri. Tradisi mebuug-buugan juga merupakan salah satu media untuk mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan khususnya hutan mangrove dan ekosistem laut sebagai aset Desa Adat Kedonganan.

 

undefined

 Sumber : mad-coize.blogspot.com

undefined

 Sumber : sanggarcakrabhuwana.blogspot.com

 

Fenomena yang terjadi di tengah-tengah gencarnya pengaruh globalisasi tidak menyurutkan niat masyarakat untuk mempertahankan budaya dan tradisi yang mereka miliki. Masyarakat Desa Adat Kedonganan bekerja sama untuk membangkitkan kembali tradisi mebuug-buugan ini dengan harapan dapat mempertahankan warisan leluhur di Desa Adat Kedonganan dan  terbukti dengan dikeluarkannya Surat Keterangan nomor 431.1/905/Disbud pada tanggal 20 Maret 2017, mengenai tradisi mebuug-buugan di Desa Adat Kedonganan telah terdaftar di Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung sebagai warisan Desa Adat Kedonganan.

Menurut pendapat salah satu pemuda di Desa Adat Kedonganan, ”setelah dikeluarkannya Surat Keterangan tersebut menjadi spirit tersendiri untuk pemuda dan pemudi di Desa Adat Kedonganan agar semakin melestarikan tradisi dan menambah kepercayaan diri kami untuk mengadakan secara terus menerus tradisi yang dilaksanakan 1 tahun sekali ini,” ungkap Diva Adi yang juga menjabat sebagai wakil ketua Karang Taruna Eka Canthi Kelurahan Kedonganan. Ia juga berharap pemerintah terus mendukung keberlangsungan tradisi ini dan masyarakat luar juga semakin mengenal tradisi yang menjadi icon Desa Adat Kedonganan. Sebagai generasi penerus sudah sepatutnya untuk menjaga serta melestarikan adat istiadat serta tradisi yang kita miliki dan selalu berada di garda terdepan untuk memfilter kebudayaan-kebudayaan luar yang semakin hari semakin merasuki budaya dan tradisi yang kita miliki.

 

Sumber :

Karang Taruna Eka Canthi Kelurahan Kedonganan

http://kpbbadung.blogspot.co.id/2016/04/film-dokumenter-sebagai-media-informasi.html