Kalian pasti pernah dengar stereotype seperti Gen Z itu chronically online, nggak mampu interaksi one-on-one, manja, lembek, dan lain sebagainya. Bahkan ada yang bilang Gen Z nggak bisa beli rumah karena sibuk minum kopi susu. Stereotip kayak gitu tuh sering banget muncul, padahal kenyataannya Gen Z datang dari berbagai latar belakang. Banyak Gen Z yang pekerja keras, dari kalangan buruh, dan sebagainya. Kalau kita percaya konten-konten yang stereotyping ini, artinya kita abai dengan perbedaan kelas dan kelompok sosial.

Untuk memahami Gen Z, pertama-tama kita harus tahu apa itu Gen Z dan karakteristiknya. Setiap generasi punya nama dan karakteristik yang bisa ditelusuri dari kejadian sosial pada masanya. Misalnya, the Lost Generation, yang lahir antara 1883 hingga awal 1900-an, dinamai berdasarkan perasaan pedih dan kecewa karena hidup pada masa Perang Dunia I. Setelahnya, the Greatest Generation dinamai berdasarkan perasaan heroik orang-orang yang berjuang pada Perang Dunia II. Gen Y atau milenial tumbuh dewasa pada akhir milenium, dan Gen Z, yang lahir antara 1996 hingga 2010, dinamai berdasarkan urutan alfabetis setelah huruf Y.

Gen Z hidup di zaman di mana keterbukaan informasi sangat tinggi, sehingga intensitas mereka terekspos pada berita jauh lebih signifikan dibandingkan generasi sebelumnya. Ini bisa jadi anugerah atau bencana. Exposure ekstrem ini mempengaruhi banyak aspek, termasuk pola pikir dan perspektif mereka. Gen Z juga hidup di era banyak perang, kerusuhan, instabilitas politik, dan sosial, termasuk krisis COVID-19 yang berdampak pada keuangan, inflasi, dan sistem pendidikan.

Sebuah survei dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa Gen Z di Amerika dan Eropa khawatir tidak mendapatkan peluang ekonomi yang sama dengan generasi sebelumnya. Mereka juga menghadapi masalah student loan yang membuat mereka khawatir tentang masa depan finansial mereka. Bahkan, 58% Gen Z merasa kebutuhan dasar sosial mereka tidak terpenuhi, lebih signifikan dibandingkan generasi sebelumnya.

Fenomena serupa terjadi di Indonesia. Data BPS tahun 2021 menunjukkan ada 3,8 juta Gen Z yang menganggur, hampir setengah dari keseluruhan pengangguran. Yang bekerja pun kondisi upahnya rendah, hanya sekitar 1,5 juta per bulan untuk usia 15-19 tahun dan 2,1 juta per bulan untuk usia 20-24 tahun. Realitanya jauh berbeda dari stereotype yang sering kita lihat di media sosial.

Gen Z juga lebih aware terhadap isu kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Mereka tahu bahwa mereka punya masalah dan perlu mencari cara untuk mengatasinya. Overexposure terhadap konten kekerasan, konflik, dan isu-isu negatif lainnya membuat mereka lebih tertekan. Generasi sebelumnya juga mengalami hal serupa, tapi awareness tentang kesehatan mental sekarang jauh lebih tinggi.

Sebagai generasi yang terpapar internet, Gen Z sering terekspos konten-konten yang berisikan kekerasan dan konflik. Ini mempengaruhi kondisi mental mereka. Banyak dari mereka yang mengerti masalah sosial dan ekonomi yang mereka hadapi, tapi tidak memiliki sumber daya untuk menyelesaikannya.

Sebagai penutup, penting untuk tidak abai terhadap realitas sosial yang dialami Gen Z. Kita harus memahami dan mendukung mereka, terutama dalam hal pendidikan yang bisa menjadi kunci untuk kehidupan yang lebih baik. Perubahan generasi adalah mesin perubahan sosial, dan kita punya tanggung jawab untuk membentuk masa depan yang lebih baik.