Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Pulau Bali merupakan pulau yang kaya akan adat-istiadatnya dan kental dengan budaya serta tradisi-tradisi keagamaannya. Hal ini berdampak dengan banyaknya kegiatan upacara-upacara baik dalam bentuk keagamaan, sosial, dan sebagainya berlangsung di Bali tiap harinya. Seperti upacara piodalan, melaspas, pernikahan, potong gigi, otonan, kematian, dan sebagainya. Upacara-upacara yang ada di Bali tidak lepas kaitannya dengan sarana-prasarana upacara, biaya, dan krama. Dimana menurut Aristoteles yakni seorang yang berkebangsaan Yunani mengatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang berarti manusia merupakan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial itu sendiri dapat diartikan manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan bantuan orang lain dalam menyambung hidup. Maka dari itu, manusia perlu bergaul dan bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Mari kita menitik beratkan sebuah kabupaten termuda dan terkecil yang ada di Bali. Kabupaten yang merupakan bungsu dari sembilan kabupaten yang ada di Bali. Badung, merupakan titik fokus pada artikel kali ini. Kabupaten yang beribukota Mangupura ini seakan menjadi kebanggaan dan dambaan bagi masyarakatnya baik asli maupun pendatang. Kabupaten yang digadang-gadang sebagai kabupaten terbaik, termaju, dan bisa dikatakan “wah” di Pulau Dewata. Pada kesempatan kali ini, Penulis berkesempatan melihat Badung dari kacamata generasi muda.

Seiring dengan berjalannya waktu, dunia kini banyak berubah. Perubahan yang didasari segi globalisasi, budaya, pola pikir, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang bukan tak mungkin lagi kita rasakan sekarang. Kita tak bisa memungkiri bahwa perubahan global yang ada memang merujuk kita untuk berpikir global dan bertindak global demi bisa mengikuti arus global tersebut.

Begitu banyaknya perubahan global yang jika disebut dan dibahas satu-persatu mungkin tidak ada habisnya. Masyarakat khususnya generasi muda mungkin merasa sangat diuntungkan dengan berbagai kemudahan dan dimanjakan dengan kemajuan global yang pesat. Namun, apakah pernah terpikir dibenak kita, bahwa kemajuan global bak pisau bermata dua yang bisa membawa sisi positif dan sisi negatif di segala lini.

Dalam sisi positif, kenyamanan berkomunikasi dan informasi, kemudahan transaksi, teknologi yang super canggih dan masih banyak lagi yang bisa kita rasakan. Lantas, bagaimana dengan negatif yang kita peroleh? Tentu lebih seram dari yang pernah kita pikirkan. Bali, khususnya Kabupaten Badung yang bergantung pada sektor pariwisata yang utama memiliki berbagai macam daya Tarik dari budaya, adat-istiadat,tradisi, tempat wisata, panorama alam, dan berbagai objek lainnya yang menjadi jiwa dalam raga pariwisata. Kemajuan teknologi mungkin membawa dampak yang baik untuk pariwisata, namun bisa juga berdampak buruk. Seperti tergerusnya budaya bangsa yang merupakan identitas bangsa. Maka dari itu, diperlukan keseimbangan anatara pikiran dan tindakan yang tepat dalam menghadapi kemajuan teknologi tersebut.

Disini, penulis memilih “Belajar dari Badung : Badung yang Berpikir Global Bertindak Lokal”. Dimana Badung, cerdas dalam memanfatkan keadaan dan peluang yang ada serta memanajemen kemajuan teknologi yang baik. Hal ini tentu berkat dukungan semua pihak baik pemerintah Kabupaten Badung dan masyarakat Kabupaten Badung sendiri. Dalam artikel ini, mari kita bahas satu-persatu aspek yang dituju

Pertanian, merupakan mata pencaharian utama masyarakat Indonesia sehingga negara kita disebut negara agraris. Hal ini juga sangat pemerintah Kabupaten Badung perhatikan. Walau bukan mata pencaharian utama, namun tetap menjadi perhatian serius bagi Kabupaten Badung sendiri. Di tengah kemajuan zaman, profesi dalam bidang pertanian mungkin jarang dilakoni generasi muda dan masyarakat. Namun, masih ada segelintir yang menekuni profesi ini seperti mayoritas wilayah Badung utara (Petang). Dengan kemajuan zaman, kita bisa melihat kemajuan pertanian dengan penggunaan tractor, cara tanam terbaru, pengentasan hama terbaru, dan budidaya terbaru pula. Bahkan, Badung akan membuat aplikasi untuk para petani bertujuan memangkas kalangan spekulan yang selama ini merugikan petani. Lalu apakah dengan kemajuan berpikir global tersebut akan menghilangkan kearifan lokal yang ada? Disini pemerintah Kabupaten Badung telah berupaya bertindak lokal dengan mengadakan festival pertanian yang berfungsi mempertahankan budaya kearifan lokal, memperkenalkan budaya, sekaligus ajang mendongkrak pariwisata. Sehingga ibarat sambil menyelam minum air sangat dirasakan dengan keseimbangan teknologi dan kearifan lokal dalam pertanian di Badung.

Dalam Bidang Ketenagakerjaan terdapat Face Recognition System untuk Smart City Kabupaten Badung (Absen wajah) yang dengan ini akan gencar menciptakan kedisiplinan para pegawai kabupaten Bdung. Dalam Bidang Ekonomi contoh salah satunya, Asian Depelopment Bank (ADB) melalui Pemerintah Swiss melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Badung dalam rangka mengoptimalkan perpajakan di Badung. Kerjasama ini akan diwujudkan dalam bentuk hibah dari Pemerintah Swiss kepada Kabupaten Badung. Hibah tersebut berupa Program modernisasi administrasi dan perbaikan kebijakan penerimaan pajak di tingkat pemerintah daerah 2015-2018 atau lebih dikenal dengan Program TRAMPIL (Tax Revenue Administration Modernization and Policy Improvement in Local Governments). Yang tentu dalam hal ini diharapkan dapat mendongkrak perekonomian dan membangun kesejahteraan masyarakat.

undefined

Sistem Absen berbasis Face Recognition System (FRS)

Sumber Gambar

Dalam Bidang Pemerintahan Mal Pelayanan Publik Badung Jadi Percontohan Daerah Lain. Mal ini bisa melayani 121 Perizinan, sehingga, tentu akan mempermudah akses pelayanan masyarakat. Dalam Bidang IPTEKKabupaten Badung, Bali, kini menuju Smart City dengan dibangunnya Badung Command Center (BCC) “Kidung Mangupura”. Disisi lain, Badung juga menyediakanBadung Free Wifi bagi masyarakat agar memberi kemudahan dalam mengakses internet. Dan dalam Bidang Pendidikan adanya pprogram e-learning sebagai wujud mendukung smart city yang menjadi program Pemkab Badung di 2018. Rencana kedepannya semua aktivitas pembelajaran maupun administrasi seperti ulangan harian, ulangan umum, raport akan berbasis IT atau memanfaatkan teknologi. “Jika program itu sudah berjalan, maka kami (Disdikpora -red) akan terapkan sistem pembelajaran berbasis IT, karena sistem pembelajaran ini tentunya akan membutuhkan akses internet,” ujar Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan Pendidikan Dasar (Disdikpora) Badung, I Made Mandi

Telah banyak kita dengar dari pemikiran global yang ada di Badung, lalu bagaimana denga tindakan lokal? Seperti latar belakang pemaparan diatas, Badung dan masyarakatnya yang majemuk, berbudaya, dan merupakan makluk sosial tidak dapat hidup dengan sendirinya. Tindakan lokal yang ada adalah masyarakatnya menjalankan menyama braya. Menyama Braya yang merupakan cerminan dari Tat Tvam Asi di mana gotong royong ini berlandas dengan ajaran Hindu yakni Tri Hita Karana. Tri Hita Karana yang merupakan pengertian dari Tiga Penyebab Terciptanya Kebahagiaan (Wiana, 2007). Dimana kebahagian tersebut dapat ditempuh dengan tiga jalan yakni Prahyangan di mana setiap umat manusia senantiasa wajib menjaga hubungan dengan Sang Pencipta. Dalam Menyama Braya konsep Prahyangan dapat di lihat dari proses melakukan upacara keagamaan yang melambangkan rasa syukur dan ingat kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang kedua yakni Palemahan, di mana manusia harus senantiasa menjaga hubungan dengan alam seperti tumbuh-tumbuhan , hewan, dan unsur alam lain. Di sini Menyama Braya sudah melambangkan hal tersebut dengan manusia mengadakan upacara tumpek wariga maupun tumpek uye untuk menghormati hewan dan tumbuhan, serta tak luput memberi makan hasil sisa banten kepada hewan, serta upacara niskala untuk alam seperti di laut misalnya untuk menjaga keseimbangan niskala dan sekala. Yang ketiga adalah Pawongan yakni manusia senantiasa menjaga hubungannya dengan sesama manusia. Dalam Menyama Braya konsep Pawongan ini sudah tercermin dari kepedulian gotong royong masyarakat Bali. Gotong royong ini memupuk kepedulian dan menjaga hubungan antar umat manusia ke ranah yang lebih baik.

undefined

Contoh kegiatan Menyama Braya dalam Masyarakat Bali

Sumber: Dok. Penulis

Di era globalisasi saat ini, masyarakat khususnya generasi muda telah banyak mengalami perubahan dan pergesaran kebiasaan dan budaya. Generasi muda cenderung bersifat individualis dan tertutup dari dunia luar. Generasi muda seakan memiliki dunianya tersendiri, yakni dunia maya. Generasi muda saat ini lebih nyaman berada pada dunia maya daripada realita. Mereka mengkungkung diri dari pergaulan nyata di luar. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh keberadaan teknologi canggih di sekitar mereka. Teknologi canggih seperti telepon pintar memberikan mereka berbagai kemudahan dan fitur-fitur menarik yang seakan membuat mereka candu. Kecanduan tersebut membuat mereka susah untu lepas dari penggunaan telepon pintar tersebut. Sekadar melihat notifikasi, bermain game, browsing, dan banyak hal lainnya membuat telepon pintar seakan telah menjadi kebutuhan primer generasi masa kini.

Di Bali maupun daerah lain, kita tentu tidak bisa terus cuek saja terhadap pihak lain. Karena kelak nantinya, kita akan memerlukan pihak lain sebagai penunjang kegiatan apapun yang kita lakukan. Bayangkan, jika kita acuh terhadap seseorang jika dia memerlukan bantuan, kelak kita akan mendapatkan umpan balik yang sama seperti yang kita lakukan. Seperti yang telah dijelaskan di awal pendahuluan artikel ini, Bali memiliki banyak upacara-upacara. Apakah upacara tersebut bisa dilaksanakan secara mandiri ? apakah teman dunia maya kita yang akan menolong ? Tentu tidak. Orang-orang terdekatlah yang akan senantiasa bergotong royong membantu kita dalam lancarnya suatu kegiatan. Maka dari itu, perlu dilatihlah sikap gotong royong pada generasi muda pengampu bangsa agar tidak hanya sekadar menjadi budak teknologi dan melupakan jati diri bangsa.

Maka dari itu, pikiran yang global harus diiringi dengan tindakan yang lokal dan bersifat nyata. Dengan Menyama Braya, masyarakat dapat hidup berdampingan di Badung tanpa cuek dan idealis semata. Menyama braya dapat dikembangkan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara. Sikap menyama braya dapat tumbuh secara tak langsung pada generasi muda ataupun dibentuk dengan Pendidikan berkarakter di sekolah, keluarga, ataupun masyarakat. Konsep menyama braya akan memberikan umpan balik positif kepada dua belah atau lebih yang menerapkannya. Rasa memiliki, kebersamaan gotong royong, peduli, dan sifat makhluk sosial akan terbentuk di sana. Tak hanya antar masyarakat banjar, desa, ataupun antar kecamatan. Menyama braya dapat dilakukan seperti dalam ajang Jegeg Bagus Badung kali ini dimana kita sama-sama berkomitmen membangun Badung dan bergaul bersama antar putra-putri Badung bahkan Bali.

Jika ditelaah lebih lanjut, sangat banyak dampak positif dari kegiatan menyama braya yang bisa diambil. Generasi jadi lebih dekat dengan dunia sekitar, mengurangi kecanduan penggunaan teknologi yang berdampak buruk seperti radiasi, sebagai wujud pelestarian budaya, bentuk kepedulian, dan masih banyak lagi. Kita sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, maka kita harus saling bahu-membahu. Menyama braya mengajarkan kita peduli dan menolong orang yang membutuhkan dan ditolong saat membutuhkan.

Melihat hal di atas, tentu generasi muda tidak boleh lepas dari tradisi dan budaya daerah serta meninggalkan ciri khas bangsa Indonesia. Generasi muda yang akan menjadi pengampu bangsa ke depannya wajib melestarikan adat dan budaya baik yang telah diturunkan kepada kita oleh para pendahulu sebelumnya. Seperti tradisi gotong royong Menyama Braya yang mencerminkan kepribadian bangsa dan ajaran-ajaran sadar akan kepedulian antar sesama.

Sebagai penutup dari artikel ini, penulis menambahkan pesan kepada generasi muda yakni lestarikanlah tradisi-tradisi yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Karena budaya daerah merupakan akar dari budaya nasional. Jangan melupakan ungkapan “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” serta tumbuhkan jiwa kesadaran saling memiliki. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mewarisi dan melanjutkan tonggak-tonggak kebudayaan bangsa Indonesia. Mari sejak dini berdedikasi dan membulatkan tekad melestarikan budaya bangsa. Dengan jiwa gotong royong kita bentuk kepribadian bangsa yang mandiri. Mulailah berpikir global namun bertindak lokal. Telaah apa yang ada di sekitar kita (lokal) dan kembangkan potensinya secara global. Semoga esai ini dapat menginspirasi dan menumbuhkan kesadaran pembacanya, terutama generasi muda pengampu bangsa agar senantiasa tergerak hatinya melestarikan budaya bangsa menuju Indonesia ke ranah yang lebih baik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Damayana, I Wayan. 2005. Suatu Studi Teologis Terhadap Konsep Menyama Braya yang Dikembangkan GKPB. Tesis. Salatiga : Program Pasca Sarjana Sosiologi dsn Agama Hindu

Damayana, I Wayan. 2011. Menyama Braya” Studi Perubahan Masyarakat Bali. E-journal. http://repository.uksw.edu (Di akses pada 4 April 2019 Pukul 22:08 WITA)

Depdiknas. 2001. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka

Sudirga, dkk. 2007. “Agama Hindu untuk Kelas 12”. Jakarta: Ganeca

Wikipedia. Tat Twam Asi. http://id.m.wikipedia.org (Di akses pada 4 April 2019 Pukul 23:07 WITA)

Wina, Ketut. 2007. “Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu”. Surabaya: Paramita.

Budi, Satmoko. 2018. “Pemkab Badung Lindungi Sektor Pertanian”. https://www.cendananews.com(Di Akses pada 4 April 2019 Pukul 21.09)

Anonim. 2018. “Belajar dari Jepang, Koster Akui Moderenisasi dan Budaya Berjalan Bersama” https://beritabali.com