Tulisan ini adalah karya Ida Bagus Soma Antara, duta Kota Madya Denpasar dalam Jegeg Bagus Bali 2014. Karena sifatnya kompetisi, tim editor menjaga keaslian karya semaksimal mungkin. Yay! Selamat membaca, semoga bermanfaat!

KulkulBali.co

undefined

 
Memang sudah tidak diragukan lagi bahwa Pulau Bali menyimpan sejuta keindahan yang seakan-akan tidak ada habisnya untuk dikagumi dan dikunjungi. Kehidupan masyarakatnya yang sosial religious, keindahan alamnya dan keramahtamahan masyarakatnya membuat Bali semakin diminati sebagai destinasi wisata dunia. Destinasi wisata yang paling dikenal dan dicari oleh para wisatawan adalah pantai. Pantai di Bali terkenal dengan pasirnya yang putih dan ombaknya yang menantang untuk ditaklukkan bagi para peselancar. Namun dibalik keindahan pantainya, ada sebuah fenomena beach boy yang cukup fenomenal berkembang diantara para wisatawan asing. Beach boy menjadi sebuah daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan asing, terutama wanita Jepang.

Yukio Murakami, seorang penulis lepas Jepang pernah menulis di majalah mingguan Nikkan Gendai (edisi 11 Mei 2010, halaman 5) bahwa sebagian besar wanita Jepang yang berkunjung ke Bali memiliki tujuan yaitu mencari beach boy yang merangkap sebagai gigolo. Fenomena ini berawal sekitar tahun 1990-an ketika Bali menjadi sangat populer saat masa ekonomi bubble. Banyak wanita Jepang pergi berlibur ke Bali untuk dipijat. Pada tahun 2005, ternyata banyak wanita pekerja toko di Jepang yang stress dalam kehidupannya dan jarang melakukan hubungan seks sehingga mereka melepaskan stressnya dengan datang ke Bali untuk mencari lelaki. Awalnya sekedar untuk dipijat, mengajarkan surfing ataupun menemani ngobrol, tetapi akhinya sampai pada tujuan yang diinginkan, yaitu pijatan seksual. Tidak sedikit wanita Jepang yang akhirnya memilih untuk menikah dengan beach boy di Bali ataupun sekedar kawin kontrak selama berada di Bali. (tribunnews.com)

Para beach boy ini gampang-gampang susah untuk ditemukan, biasa mereka nongkrong di sepanjang warung-warung pantai Kuta. Demi mendapatkan pelayanan dari para beach boy ini, para wisatawan harus jeli melihat gerak gerik para pria di sekitar pantai. Ciri-cirinya biasanya berbadan kekar, berkulit hitam, dekil, gondrong tanggung, rambut diwarnai, suka mengenakan celana melorot, dan berjemur. Jika mencari mangsa biasanya mereka mendekati target yang sedang berjemur dengan bahasa asing. Bahasa yang sering digunakan untuk mendekati tamu seperti: "Hi.. how are you". Bahkan ada yang langsung menawarkan jasa secara langsung: "do you like jig-ijigg?". Jigg-ijigg adalah salah satu istilah bahasa gaul dari Australia yang biasa digunakan oleh bule-bule yang ingin melakukan seks. Kalau untuk wanita Jepang biasanya digunakan "Moshi-moshi…, anata wa daisuki icha-icha, desu ka"?? artinya "Halo apa anda mau 'bercinta' dengan saya?". Keberadaan tentang wanita Jepang yang haus akan cinta dari para beach boy ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan mereka. Mereka akan berlomba-lomba untuk merebut hati dari para wisatawan asing ini. Tarif beach boy ini cukup bervariasi, tarif mereka sekali kencan sekitar 5.000 yen, tapi ada yang lebih murah hanya 2000 yen. Apabila melayani seharian penuh maka tarifnya 10.000 yen (Yukio Murakami:2010).

Keberadaan beach boy ini secara tak langsung telah memberikan kontribusi terhadap tingginya kunjungan wisatawan asing, terutama wisatawan Jepang. Disatu sisi, ini dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi pariwisata Bali, namun tak dapat dipungkiri bahwa ini telah mencoreng citra pariwisata Bali di mata dunia. Bagi lingkungan sekitar pantai, fenomena beach boy ini sudah bukan menjadi hal yang baru lagi, mereka seolah-olah tutup mata dan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Pemerintah setempat mulai tanggap terhadap fenomena ini ketika praktik pria penjaja seks yang terekam dalam film dokumenter Cowboys in Paradise dianggap sudah merusak citra Bali, sebagai tujuan wisata internasional. Inspirasi pembuat film Cowboys in Paradise ini adalah saat tanpa sengaja bertemu dan berbincang dengan seorang bocah di Bali yang menggunakan bahasa Jepang. Bocah ini ngotot ingin berbahasa jepang tidak mau menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia saja. Awalnya pembicaraan mereka hanya seputar makanan lezat dari negeri tirai bambu itu yaitu sushi. Namun, setelah lama bercengkrama ternyata intinya sang bocah sedang mendalami menggunakan bahasa jepang, karena ia mempunyai cita-cita yaitu ingin menjadi seorang beach boy yaitu gigolo. Sebenernya film Dokumenter Gigolo Bali ini sudah lama di unggah di youtube dan film ini telah beredar di Korea dan Singapura pada tahun 2009. Saking santernya film ini di Indonesia, akhirnya masyarakat Bali menolak keras film tentang gigolo Bali ini beredar luas. Warga maupun tokoh adat Bali menyesalkan adanya film ini, yang mangangkat cerita kehidupan para gigolo pelayan sex bagi turis-turis wanita di Bali. Masyarakat Bali mengatakan apa yang diungkapkan di film dokumenter tersebut tidaklah benar, meskipun fenomena gigolo ada di Kuta. Keberadaan gigolo mungkin bukan hanya Bali, tetapi di tempat lain juga banyak.

Pemerintah pun sangat mengecam film itu sebagai sebuah tamparan keras bagi citra pariwisata Bali yang selama ini menjual keindahan gelombang, keindahan saat matahari terbenam, keunikan budaya dan lain-lainnya. Motto pariwisata Bali 3S (sun, sand and sea) sudah diganti menjadi 4S (sun, sand, sea and sex). Mereka beranggapan tanpa aspek keempat itu, liburan ke Bali dianggap belumlah lengkap. Untuk mengantisipasi hal tersebut berkembang lebih luas maka Kepala Keamanan Pantai Kuta, I Gusti Ngurah Tresna mulai bekerjasama dengan masyarakat dan aparat kepolisian memberantas keberadaan para beach boy ini dari pantai Kuta di Bali. Melalui Razia yang Satuan Tugas (Satgas) Pantai Kuta, akhirnya berhasil menangkap 28 pemuda yang tak memiliki identitas serta pekerjaan yang jelas di Pantai Kuta Bali. Mereka tentunya bukan turis domestik karena sudah sering ditemui oleh petugas di sekitar pantai. Namun, menurut Ketua Satgas Pantai Kuta Gusti Ngurah Tresna, tak satupun ada yang mengaku sebagai gigolo namun pengakuan tersebut akan ditelusuri lebih jauh. Setelah ditangkap, para pria tersebut dibawa ke Kantor Kelurahan Kuta untuk mendapat pembinaan. Terutama untuk melengkapi surat-surat kependudukan dan harus segera mencari pekerjaaan. Sayang, dalam razia tersebut, satgas belum berhasil menangkap pemeran yang di film Cowboys in Paradise yang sempat diunggah di situs Youtube tersebut. (tempo.co)

Diharapkan upaya pemberantasan beach boy ini terus dilakukan dengan cara melakukan razia duktang (penduduk pendatang) secara berkala agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi. Razia ini tentunya menyasar mereka yang tidak memiliki KTP dan pekerjaan yang jelas di Bali. Satgas Kuta sebagai garda terdepan dan aparat desa setempat juga harus mengawasi segala sesuatu yang dianggap mencurigakan dan segera ditindak tegas sesuai dengan aturan yang berlaku. Mereka jangan hanya ditangkap saja tetapi kalau sudah benar-benar terbukti maka mereka hendaknya dibina, diberi pelatihan sehingga mereka memiliki keterampilan sehingga diharapkan mereka akan mencari pekerjaan yang baru dan tidak lagi kembali ke pantai menjadi seorang beach boy. Sedangkan bagi kalangan pedagang serta penyewa papan surfing di pantai diawasi secara intens agar tidak ada yang berani melakukan praktek gigolo. Kalau ada yang bermasalah hendaknya ijinnya langsung dicabut agar menimbulkan efek jera bagi mereka.

Kasus beach boy ini memang telah menjadi sebuah potret kelam pariwisata bali yang menjadi sebuah dilemma. Disatu sisi, ini menjadi daya tarik wisata yang cukup memberikan kontribusi bagi PAD Bali dengan tingginya angka kunjungan wisatawan Jepang ke Bali tetapi disatu sisi, ini telah mencoreng citra pariwisata Bali karena ulah dari beberapa oknum saja. Sisi gelap pariwisata Bali dalam sebuah tayangan film Cowboys in Paradise sudah menggambarkan dengan jelas fenomena keberadaan beach boy di Bali. Tentunya ini menjadi tugas dan PR bagi kita semua, bagaimana mengatasi fenomena beach boy yang harus segera dihapuskan dari pariwisata Bali dan bagaimana langkah selanjutnya untuk memulihkan citra pariwisata Bali kedepan. Tak dapat dipungkiri bahwa prostitusi sebagai salah satu daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan yang tidak bisa dihapus dengan mudah, ini juga menjadi permasalahan di negara-negara lain yang pariwisatanya cukup berkembang pesat. Ada negara yang melegalkan prostitusi dan ada yang menentang dengan keras namun tidak bisa berbuat banyak, seperti Bali. Prostitusi akan tetap ada seiring dengan masih adanya wisatawan yang menginginkannya. Marilah kita bersama-sama jangan seperti menutup mata dengan adanya prostitusi disekitar kita. Seharusnya segala hal yang bertentangan dengan adat istiadat dan agama di Bali, harusnya dilarang. Apa yang menjadi aturan, norma, etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali dan telah diwariskan oleh para leluhur kita, menjadi hal yang patut kita jaga dan pegang teguh. Jangan sampai nantinya Bali tidak lagi memiliki taksu sebagai sebuah destinasi wisata yang terkenal dengan kearifan lokal, kehidupan masyarakatnya yang kental akan nilai sosio-religious dan keramahtamahannya. Marilah kita bersama-sama menjaga Bali agar tetap memiliki taksu dan menjadi destinasi wisata dunia yang menarik untuk dikunjungi karena nilai-nilai adat ketimuran yang dianut dan didukung dengan keindahan alam dan budayanya, bukannya semata-mata karena Cowboys in Paradise.

 

Sumber ilustrasi gambar : http://eunyusuf.wordpress.com/page/25/

 

 

Nama: Ida Bagus Ketut Soma Antara

Duta: Bagus Denpasar 2014