Bangli merupakan salah satu bagian dari pulau Bali, letaknya yang berada di tengah–tengah membuat Bangli adalah satu – satunya kabupaten di pulau Bali yang sama sekali tidak memiliki pesisir pantai. Namun walaupun demikian Bangli dianugrahi sebuah sumber air kehidupan berupa danau yang sering dikenal dengan danau Batur. Tepat diseberang danau Batur itulah terdapat sebuah desa yang menyimpan segudang tradisi unik dan bersejarah yang sering kita kenal dengan sebutan Desa Trunyan.

Seperti yang kita ketahui bahwa desa Trunyan sudah sangatlah terkenal di kalangan wisatawan baik itu wisatawan domestik atau mancanegara, hal  yang selama ini  sangat menonjol di desa ini yakni proses pemakaman mayatnya  yang sangat unik yaitu tidak dikubur sama sekali melainkan hanya diletakkan di atas tanah dan ditutupi dengan ancak saji (pagar yang terbuat dari bambu)  yang berguna untuk melindungi jasad yang diletakkan di sana dari gangguan hewan liar. Dan di pemakaman ini terdapat sebuah kayu yang sangat besar yang usianya sendiri sudah mencapai ribuan tahun, kayu ini bernama Taru Menyan, masyarakat mempercayai keberadaan kayu inilah yang berfungsi untuk menetralisir bau yang dikeluarkan oleh jasad yang tidak dikubur tersebut, maka jika kita berkunjung kesana tidak akan ada bau busuk yang tercium, dan juga nama Taru Menyan inilah yang menjadi asal muasal dari nama Desa Trunyan.

Baik lari dari hal tersebut, bila akan berkunjung ke Desa Trunyan tepatkanlah berkunjung pada saat akan diadakannya ngusaba kapat di salah satu pura di desa trunyan yang menyimpan segudang cerita bersejarah didalamnya, pura tersebut bernama Pura Pancering Jagat. Upacara ngusaba akan  diadakan di Pura Pancering jagat setiap purnama kapat (purnama pertama di sasih kapat dalam penanggalan Bali), purnama pada sasih kapat inipun berbeda setiap tahunnya yakni ada Kapat lanang dan Kapat wadon, pada saat kapat lananglah akan dipentaskan sebuah tarian bersejarah yang dinamakan tarian Barong Brutuk, tarian barong brutuk ini hanya ditarikan pada saat kapat lanang saja atau setiap 2 tahun sekali, maka dari itu moment ini sangatlah langka untuk diabadikan.

Filosofi barong brutuk

Masyarakat  desa trunyan mempercayai bahwa barong brutuk adalah symbol penguasa di Desa Trunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat (laki- laki / di dalam prasati disebut Ratu Datonta) dan Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (perempuan). Barong brutuk menanamkan pengetahuan tentang leluhur kepada generasi penerus mereka. Barong Brutuk dikatakan pula sebagai symbol pertemuan perempuan dengan laki–laki sebagai proses kehidupan manusia dalam Agama Hindu disebut Purusa dan Pradana karena jika kita berkunjung ke Pura Pancering Jagat anda akan mendapati sebuah patung yang terlihat tinggi dan kokoh, patung inilah yang bernama patung Bhatara Datonta, patung ini merupakan salah satu peninggalan jaman batu besar (megalitikum), patung ini menggambarkan kedasyatan ekspresi seorang Bhatara, tangan kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya, sedangkan tangan kananya bertekuk diatas bahu mengarah ke belakang sambil membawa kapak, lalu alat vitalnya mencolok ke bawah, nah tepat dibawah alat vital tersebut terdapat lubang yang menggambarkan alat kelamin perempuan. Kedua symbol ini dikatakan sebagai asal mula atau bentuk awal dari lingga yoni atau kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu.

Oke setelah kita mengetahui filosofi dari barong brutuk itu sendiri maka kali ini kita akan membahas mengenai bagaimana barong brutuk ini dipentaskan pada saat upacara ngusaba itu berlangsung.

Barong brutuk ini ditarikan oleh 21 orang pemuda yang sbelumnya harus melewati masa karantina terlebih dahulu selama 42 hari full yang dilaksanakan disekitar areal suci pura, selama 42 hari tersebut pemuda tersebut dilarang meninggalkan areal pura dan dilarang berhubungan dengan perempuan jadi hari–hari mereka dipenuhi dengan mempelajari kidung atau mantra mantra suci dan mencari kraras (daun pisang yang telah kering) di sekitaran desa pinggan yang nantinya kraras ini akan dipergunakan sebagai pakaian dari barong brutuk itu sendiri. Ketika hari yang mereka tunggu–tunggu telah tiba, para penari barong brutuk diwajibkan memakai dalaman (celana dalam) yang terbuat dari serat batang pisang yang telah kering. Pada saat menari mereka juga menggunakan lakon (pemeran), ada 4 pemeran utama yakni 1 orang sebagai Raja Brutuk, 1 orang menjadi Ratu Brutuk, 1 orang menajadi Kakak dari sang Ratu dan 1 lagi menjadi Patih, sementara sisanya menjadi anggota biasa.

Pada saat pementasan berlangsung akan diawali oleh penari anggota terlebih dahulu dengan mengelilingi tembok pura sebanyak 3 kali sambil melontarkan cemeti (cambuk) ke arah penonton. Setelah itu baru disusul oleh 4 penari barong brutuk sebagai pemeran utama tadi, sebelum mereka mengelilingi areal pura salah satu pemangku akan mengahaturkan sesajen dihadapan mereka setalah ritual itu selesai barulah penari tersebut mengelilingi areal pura sebanyak 3 kali sambil mengarahkan cemeti ke arah penonton, sebagian penonton ada yang kabur karena takut tercambuk ada juga yang menyerahkan diri untuk dicambuk karena mereka percaya bahwa cambukan tersebut merupakan tamba (obat) untuk menyembuhkan berbagai penyakit, dan tidak sedikit juga penonton yang mengambil serpihan daun kraras yang berjatuhan yang diselipkan ditelinga mereka yang nantinya akan dibawa pulang kerumah untuk disimpan sebagai keselamatan atau ditebar di sawah mereka untuk kesuburan dari pertanian mereka. Pada pementasan tersebut barong brutuk juga akan melemparkan buah – buahan yang nantinya akan menjadi rebutan masyarakat, buah – buahan ini juga memiliki arti yang sama yakni dipercaya dapat memberi kesehatan dan keselamatan. Pementasan Barong Brutuk ini akan berlangsung sehari full, tidak menggunakan iringan musik apapun dan tariannya tidak menggunakan pakem tarian pada umumnya melainkan mereka menari dengan sendirinya.

Baik teman – teman dapat kita ketahui bahwa di pulau Bali ini terdapat banyak sekali kebudayaan dan kesenian yang memiliki nilai sejarah yang sangat kental, salah satunya Barong Brutuk yang telah kita bahas tadi, sudah semestinya kita sebagai generasi muda tetap melestarikan seluruh kekayaan seni dan budaya yang kita miliki bukan malah meninggalkannya dan lebih berorientasi dengan perkembangan arus globalisasi atau lebih mengamalkan kebudayaan yang bersifat ke barat – baratan yang nyatanya berbanding terbalik dengan kebudayaan yang kita miliki, jika hal ini terus terjadi maka tak hayal degradasi moral dan punahnya kebudayaan yang kita miliki pada suatu saat nanti. Percayalah kita  tidak harus bisa melakukan semua kesenian tersebut tetapi setidaknya kita mengetahui seluruh kekayaan seni dan budaya yang kita miliki agar kebudayaan dan keseniaan kita tetap lestari dan tetap akan diketahui oleh generasi – generasi penerus kita selanjutnya. Tetapi alangkah baik dan mulianya jika kita dapat melakukan  kekayaan seni dan budaya yang kita miliki itu.

Dan jangan lupa ya untuk berkunjung dan melihat secara langsung pementasan Barong Brutuk ini yang hanya terdapat di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani,Kabupaten Bangli, Bali.
Thank you !!!!!!!

narasumber :

masyarakat Desa Trunyan

jejakarkeologi.blogspot.com

sumber gambar :

https://nimadesriandani.wordpress.com/