Siapa yang tidak mengenal Bali sebagai salah satu pulau dengan pesona yang sangat memikat, menjadi pulau dengan objek wisata yang memanjakan mata dunia, dan pulau yang memiliki keunikannya tersendiri. Sungguh banyak sebutan untuk pulau kita satu ini oleh karena ciri khas yang tiada duanya. Tidak bisa disebutkan satu persatu secara gamblang, karena masing-masing memiliki makna nya tersendiri. Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, The Island Of God, Pulau Cinta, dan masih banyak lagi. Keindahan alam, bangunan, kuliner, keramahtamahan warga, kerajinan, wisata rekreasi, hingga tempat-tempat hiburan bisa ditemukan hingga ke pelosok-pelosok, saya rasa Bali pantas dijuluki sebagai “one stop traveling island”. Dari berbagai hal menarik yang banyak digandrungi bukan hanya oleh wisatawan asing tapi juga wisatawan domestik, saya yakin kekayaan Bali ini tidak akan ada habisnya untuk dikuak dan dinikmati dalam waktu sekejap.
Pernahkah muncul di benak kalian para pembaca, sebenarnya apa yang membuat Bali hingga sekarang masih kaya akan hartanya, dalam hal ini bukan berarti ekonomi melainkan yang membuat para wisatawan asing datang berbondong-bondong ke Bali adalah kekayaan yang kasat mata dan tidak kasat mata, pesona Bali itu sendiri. Apa yang djadikan pondasi kuat untuk menyokong kekayaan Bali ini? Siapa yang perlu mempertahankannya? Pertanyaan yang paling penting yang perlu kita tanam dalam benak kita, warga Bali itu sendiri.
Pernahkah terpintas dipemikiran Anda para generasi muda Bali, bahwa budayalah yang membuat Bali ini tetap bertahan dan mampu menggaungkan namanya di kancah dunia seperti saat ini. Tanpa budaya dan keteguhan para tetua kita, Bali tidak akan bisa terjaga hingga sekarang. Objek wisata yang memanjakan mata di Bali memang bisa menyaingi dan tidak kalahnya dengan pantai-pantai, gunung-gunung, air terjun, dan kekayaan alam di negara lainnya. Bahkan tempat rekreasi dan tempat hiburan pun kini sudah mulai merebak dan menjamur dimana-mana dengan desain dan rasa makanan yang menitikkan air liur serta menyilaukan mata.
Budaya itu sangat penting, budaya itu lah jati diri pulau Bali. Namun kini budaya kita semakin merosot kearah modernisasi. Tidak ada salahnya beradaptasi dengan budaya modern tapi jangan menjadi kacang lupa akan kulitnya. Kita generasi penerus jangan hanya menonton budaya Bali melalui layar kaca ponsel, merekam budaya Bali namun tertutupi oleh keegoisan akan eksistensi diri sendiri. Melupakan dimana sebenarnya kita berpijak. Tidak apa-apa untuk merubahnya menjadi lebih baik, tapi apakah perubahan yang saya nyatakan dibawah ini adalah perubahan yang baik demi Bali itu sendiri? Mari kita simak.
Sebagai the island of God, pulau dewata ini memiliki segudang hari raya suci seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan, Nyepi, Siwaratri, Saraswati, dan sebagainya. Seluruh masyarakat Bali dari berbagai kalangan dan usia ikut merayakan hari raya ini termasuk remaja. Namun, apa yang dilakukan remaja Bali masa kini?
- Anak muda menjadikan hari raya sebagai “kesempatan baik”.
Perayaan hari raya menjadi momen penting bagi warga Bali. Salah satunya adalah Hari Raya Siwaratri. Hari raya ini identik dengan persembahyangan dan melakukan jagra (begadang semalam suntuk). Begadang di sini bertujuan untuk merenungi hal-hal keliru yang pernah kita lakukan agar nantinya kita tidak mengulangi hal yang sama. Namun ekspektasi tak sesuai realita. Banyak anak remaja melakukan hal menyimpang dengan alasan me-jagra di pura. Mereka menggunakan momen ini sebagai “kesempatan baik” untuk bepergian bersama teman-teman, begadang hingga pagi lalu ke pantai, berpacaran, bermain judi, atau sekedar nongkrong di pura agar bisa mengunggah foto dan video di media sosial. Hal yang sama juga terjadi saat perayaan Nyepi. Beberapa orang dengan sengaja keluar rumah untuk mendapatkan selfie pada hari yang langka itu.
- Gaya berpakaian kekinian saat hari raya.
http://www.virgabali.com/2016/09/budaya-pakaian-adat-ke-pura-yang-makin.html
Bukanlah hal yang asing lagi jika kita melihat para remaja yang menggunakan pakaian tidak pantas saat sembahyang ke pura. Contohnya tren menggunakan kamen dan saput diatas lutut, kamen dengan belahan cukup tinggi, kebaya modifikasi yang tipis, dan kebaya dengan lengan diatas siku. Tentu hal ini sangatlah disayangkan karena mengganggu adat kesopanan di Bali. Sah-sah saja jika remaja menggunakan kreatifitasnya dalam berbusana mengingat fashion masa kini yang kian berkembang. Namun penggunaanya perlu diperhatikan, busana mana yang cocok digunakan untuk persembahyangan dan mana yang cocok untuk menghadiri undangan. Jadi, ke pura mencari perhatian atau Tuhan?
- Sarana upakara yang serba instan.
Banten adalah sarana upakara umat Hindu untuk melakukan upakara yadnya. Banten terkecil dan paling mudah dibuat adalah canang. Setiap orang yang melakukan persembahyangan baik itu dirumah, sekolah, pura ataupun melakukan upacara keagamaan lainnya selalu membawa dan menggunakan canang. Namun, berapa orang diantaranya yang membuat sendiri canang yang dibawanya? Sama halnya dengan sarana upakara yang biasa dipersiapkan oleh laki-laki. Penjor, sanggah cucuk, dan sarana lainnya sekarang sudah sangat mudah untuk dibeli. Di jaman yang semakin modern ini, minat untuk membuat sarana tersebut semakin berkurang terutama para remaja di daerah perkotaan. Entah karena kesibukan yang semakin padat, atau mungkin memang tidak pernah diajarkan, mereka memilih untuk langsung membelinya saja. Generasi muda lebih sering dimanjakan. Memang lebih mudah, tetapi setidaknya hal dasar tersebut perlu diteruskan.
Bagaimana menurut Anda para pembaca? Setujukah bahwa hal ini adalah beberapa tingkah para remaja yang menodai budaya Bali kita? Tidak apa merekam dan mendokumentasikan momen yang indah itu, tapi tidak bisakah untuk hari-hari tertentu yang bahkan hanya satu hari saja kita menghargai budaya kita sendiri, kita menikmati budaya kita dengan sebagaimana mestinya. Saya adalah generasi penerus, saya juga tidak suka apabila terlalu kuno dan berbau kaku. Tapi kebudayaan itu tidak kaku, kebudayaan itu fleksibel. Mereka berkembang tapi tetap dalam batas yang kita para pemuda harus pahami. Banggalah dengan budaya yang kita miliki dengan menaati dan melestarikannya bukan menelanjangkannya, karena tidak semua hal harus kita ubah, karena ada hal-hal yang perlu kita teruskan untuk selalu ada sampai masa depan. Bahkan foto momen pada saat kita kecilpun kita simpan sampai sekarang, tidak kita bakar ataupun kubur. Karena itu adalah awal dari semuanya.
Komentar