Berbeda? Berbeda dalam hal apa nih? Fisik? Bentuk muka? Atau apa? Kok ambigu?"

"Di mana-mana paling beda itu kan aneh!”

Ya mungkin itulah beberapa kalimat yang diutarakan orang-orang jika mendengar kata “berbeda”. Apalagi jika di kalangan siswa, hal tersebut masih menjadi suatu yang tidak lazim. Karena anak muda jaman sekarang senangnya meniru, meniru apa yang menurutnya baik dan bagus. Coba pikir, jika 9 dari 10 remaja senang meniru, otomatis timbul suatu kesamaan. Jadi, kalau ada satu saja yang berbeda atau “nyeleneh”, wah sudah pasti jadi bahan cibiran, gosip, dan sebagainya. Apalagi di kalangan siswa, yang notabenenya adalah remaja yang “baru gede”, mereka senangnya yang keren dan menguntungkan baginya, tak peduli mau ikut-ikutan atau tidak.

Bicara tentang siswa, kewajibannya ya tentu belajar dan belajar. Membuat tugas, diskusi kelompok, presentasi makalah, dan sebagainya. Kelas adalah rumah kedua bagi seorang siswa. Karena hampir setiap harinya mereka menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam di kelas. Terlebih lagi baru-baru ini telah ditetapkan sistem full day school di seluruh Indonesia. Praktis jam belajar siswa menjadi sangat banyak dan waktu di kelas menjadi hal yang penting.

Bagaimana jika ada siswa yang jarang berada di kelas? Bagaimana jika siswa tersebut lebih menyukai kegiatan di luar kelas dibandingkan belajar di kelas? Ini tentu masuk ke konsep berbeda yang sudah saya sebutkan di atas tadi.

Berbeda disini yang dimaksud adalah, siswa tersebut mencoba untuk memberanikan diri, berbeda daripada teman-temannya yang lain. Jika teman-temannya belajar di kelas, ia menyibukkan diri dengan kegiatan di luar jam pelajaran. Tentu sangatlah merepotkan dan terkesan aneh, ya memang. Karena sudah menjadi rahasia umum, jaman sekarang sangatlah sulit untuk mencari sekolah, untuk menempuh pendidikan. Semua menggunakan nilai, menggunakan prestasi akademik. Sedangkan jika ada siswa yang jarang berada di kelas, bagaimana dengan nilainya? Bagaimana dengan masa depannya? Apa ia mampu mencari sekolah lanjutan yang baik? Apa benar menjadi berbeda dan mencari tantangan tersendiri itu tidaklah buruk?

Menjadi beda tidaklah buruk. Kata-kata itulah yang menurut saya selalu terlintas dalam pikiran orang-orang yang senang berkegiatan. Bahkan orang-orang tersebut bisa sangat jarang berada di kelas dan mengikuti kegiatan belajar.

“Loh kok gitu? Ah dasar malas kamu.”, “Sok sibuk dia mah, sebenarnya dia menghindari pelajaran yang gak dia suka.”, “Buat apa kegiatan di luar, gak akan membantu kamu mencari perguruan tinggi nanti.”

Berbagai pernyataan tersebut sudah terdengar sangat lazim untuk menanggapi orang yang paling “berbeda” di antara teman-temannya yang rajin belajar di kelas. Jika dipikir-pikir, apa sih yang membuat seseorang sampai melakukan hal tersebut? Apa benar ia malas? Apa benar ia hanya sekedar menghindari pelajaran yang saya tidak suka? Dan apa benar nanti ia tidak bisa mendapat perguruan tinggi yang saya inginkan? Jawabannya tidak. Kenapa saya berani mengatakan tidak? Saya memiliki beberapa pendapat atau bukti yang menguatkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.  

Saya sendiri merupakan seseorang yang bisa dibilang “sibuk”, suka berkegiatan, selalu ikut apa saja bentuk kegiatannya. Bahkan sejak SMP, sayasudah aktif berorganisasi di OSIS. Padahal saat itu, teman-teman sekelas tidak ada sama sekali yang menjadi OSIS atau yang aktif di kegiatan lain di luar jam belajar. Dan kala itu semua men-judge saya, mengatakan  bahwa saya tidak akan bisa berprestasi, tidak akan bisa mendapatkan sekolah favorit nanti, dan yang paling menakutkan adalah mereka mengatakan bahwa saya akan tidak disenangi oleh guru-guru karena saya jarang ada di kelas saat mereka mengajar. Tentu pertama kali saya merasa takut, bingung, dan tekad saya pun tergoyahkan. Namun saya kembali berpikir bahwa saya mampu menjadi berbeda dari yang lain. Berbeda dalam artian walaupun saya sibuk, saya tetap dapat berprestasi bahkan lebih dari teman saya yang hanya asik belajar di kelas tanpa memperhatikan dunia luar. Buktinya, saya tetap mendapatkan peringkat 5 besar dari SMP sampai di bangku SMA sekarang. Saat SMP juga saya memperoleh nilai UN tertinggi keempat di sekolah saya. Dan guru-guru pun tidak serta merta membenci saya hanya karena saya jarang berada di kelas. Karena saya selalu izin kepada guru dan saya juga mencoba untuk mengakrabkan diri dengan guru. Hal ini pun berlanjut sampai saya di bangku SMA saat ini. Saya tetap aktif berorganisasi walaupun saya tau guru di SMA terkesan lebih killer dan tidak mau tau akan apa kegiatan siswanya, asalkan jam mengajarnya terpenuhi dan nilai di kolom penilaiannya tidak ada yang kosong. Itu tidak menjadi penghalang, asalkan tugas tetap saya kerjakan dan ulangan tidak ada remidial. Dari sanalah saya berpikir bahwa berbeda dari yang lain itu tidak selamanya buruk, asalkan kita tekun dan tetap dapat membagi waktu. Sedikit demi sedikit, saya mampu mengubah mindset teman-teman saya dan mulai mengajak mereka untuk ikut berkegiatan.

Salah satu tokoh penting di Indonesia yang juga menguatkan pikiran saya adalah Anies Baswedan. Beliau adalah mantan Menteri Pendidikan dan sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Beliau sendiri yang mengatakan kepada para mahasiswa,

“IPK yang tinggi itu hanya mengantarkan sampai meja wawancara namun sukses pascawawancara ditentukan oleh pengalaman organisasi dimana kita menjalankan banyak peran dan relasi.”

“Mahasiswa aktif berorganisasi akan belajar untuk menjalankan banyak peran dan itulah dunia pascakuliah menuntut kita untuk menjalankan banyak peran.”

Dari sekian pernyataan yang saya sampaikan di atas, apanya yang menunjukkan konsep “berbeda”? Mungkin tidak secara tersirat bisa anda lihat, namun anda bisa memahami maknanya. Jadi, untuk menjadi baik dan sukses tidak selalu melalui jalan yang sama. Terkadang menjadi berbeda dan unik itu perlu, karena setiap orang sudah memiliki jalannya masing-masing. Bukan bermaksud untuk mengajak atau mengajarkan anda untuk berbuat aneh, tidak, hanya ingin berbagi dan membuka mata orang-orang, bahwa perbedaan itu tidaklah buruk. Selagi mampu saling melengkapi, dan tergantung dari sudut pandang kita melihat dan menerima perbedaan tersebut.