Image source : Ilustrasi -NET.

Apa yang terlintas dibenak kalian jika mendengar kata nyentana? Bagi sebagian orang ini terdengar menyeramkan. Apalagi dijaman seperti sekarang ini, masih adakah orang yang menjalankan budaya nyentana tersebut?

Nyentana atau nyeburin dalam istilah perkawinan Bali merupakan dimana perempuan yang meminang laki-laki. Iya betul sekali, jadi dimana mempelai laki-laki harus tinggal dirumah asal mempelai perempuan. Mengapa perempuan yang harus meminang laki-laki? Ini dikarenakan dalam sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki. Jadi begitulah kira-kira pengertian nyentana secara singkat.

Di Bali, tidak semua masyarakat setuju akan adanya budaya nyentana tersebut. Namun, di Kabupaten Badung budaya nyentana dapat diterima oleh masyarakat Badung. Tetapi walaupun di Badung diperbolehkan, nyatanya tidak sedikit anak laki-laki yang tidak diperbolehkan untuk nyentana (dipinang oleh anak perempuan) oleh orangtua ataupun pihak keluarga mereka.

Nyentana tidaklah semenakutkan seperti apa yang ada dipikiran masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa jika seorang anak laki-laki nyentana, maka ia akan mendapat perlakuan yang tidak baik dirumah si perempuan. Karena si laki-laki berstatus sebagai istri di rumah si perempuan. Masyarakat juga menganggap bahwa kedudukan laki-laki direndahkan karena semua pekerjaan akan dilimpahkan padanya. Ada juga yang memiliki gengsi yang tinggi jika anak lelakinya dipinang oleh keluarga perempuan. Namun cobalah singkirkan jauh-jauh pemikiran seperti itu. Kita harus open mind, kenapa nyentana itu perlu dilakukan?

Bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki atau semua anak-anaknya perempuan, tentu orangtua menginginkan salah satu anaknya tetap tinggal dirumah. Karena harus ada yang melanjutkan keturunan mereka. Alasan pemikiran yang menyebabkan adanya penentangan dilakukannya nyentana tersebut tidaklah benar adanya. Jika seseorang telah bersedia untuk nyentana, malah mereka akan diistimewakan di rumah si perempuan karena telah melanjutkan keturunan mereka. Dengan nyentana, seorang laki-kaki tidak akan kehilangan tingkatannya sebagai kepala keluarga dan akan tetap menjadi seorang Purusa dalam sebuah keluarga.

Tidaklah mudah bagi seorang anak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki dan diminta untuk mencari sentana oleh orangtua mereka. Ketika dia ingin memulai sebuah hubungan dengan sesorang, dia harus berpikir berkali-kali. Bagaimana tidak? “ apakah dia akan bersedia untuk nyentana?” pasti si perempuan memiliki pemikiran seperti itu dibenaknya. Karena sering terjadi ketika pasangan yang telah menjalin hubungan yang cukup lama, namun saat ditanya oleh si perempuan,’’bersediakah untuk nyentana?’’ dan ternyata tidak disetujui oleh orangtua maupun keluarganya. Dan hubungan yang sudah terjalin lama harus kandas begitu saja. Disinilah prinsip seorang perempuan pejuang sentana diuji. Dia harus mengorbankan cinta dan perasaannya demi kelanjutan keturunan keluarganya. Alhasil orangtualah yang akan memilih orang yang bersedia dan akan dijodohkan dengan anak perempuannya.

Sebenarnya, tidak salah jika orangtua yang menentukan. Karena orangtua pasti tau mana dan apa yang terbaik untuk anaknya. Namun sekali lagi, si perempuan harus mengorbankan perasaannya.

Tetapi akan lebih baik apabila hidup dengan orang yang memang menjadi pilihan kita.

Mereka yang memiliki anak laki-laki dan mengecam dilakukannya nyentana, cobalah berpikir kedepan.

Roda kehidupan akan terus berputar. Bayangkan, jika kelak dirimu yang tidak memiliki keturunan laki-laki, apa yang akan kamu lakukan? Akankah kamu diam saja?

Apa salahnya nyentana?

Tidak ada yang salah dalam pernikahan nyentana. Karena nyentana dilakukan untuk melanjutkan keturunan keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Yang penting, bagaimana cara kita menjalani kehidupan ini agar tetap harmonis.*