Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki beranekaragam kebudayaan dan tradisi yang masih dipertahankan sampai saat ini. Keanekaragaman tradisi serta kebudayaan di Bali perlu dilestarikan agar tetap bertahan di tengah derasnya arus globalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini yang kita kenal dengan sebutan era millenial. Salah satu desa di Bali yang masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan uniknya adalah Desa Adat Kapal. Desa ini terletak di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Desa Kapal memiliki tradisi unik yaitu Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat-Bantal yang masih dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

undefined

Gambar 1 Tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat Bantal di Desa Kapal

Tradisi Aci Rah Pengangon merupakan suatu upacara sakral yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kapal sebagai perwujudan rasa syukur dan terima kasih masyarakat setempat terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas hasil panen, ladang atau sawah yang terhindar dari kekeringan, selain itu tradisi ini merupakan doa untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) yaitu sekitar bulan September sampai bulan Oktober. Dahulu Desa Adat Kapal adalah desa yang kering dan banyak warga yang mengalami kesusahan, melihat kondisi seperti ini maka Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada sang pencipta dengan melakukan yoga samadhi di Pura Purusadha, Kapal. Saat melakukan yoga samadhi beliau mendapatkan sabdha dari pencipta untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon dengan sarana menghaturkan tipat dan bantal sebagai simbol purusha dan pradhana atau sumber kehidupan.

Eksistensi Tradisi Aci Rah Pengangon di Tengah Alih Fungsi Lahan

Kebudayaan pada hakekatnya merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya, Koentjaraningrat (dalam Supartono, 2004). Tradisi Aci Rah Pengangon merupakan tradisi yang bercikal bakal dari pertanian. Seperti yang sudah dijelaskan dalam lontar Tabuh Rah Pengangon yaitu :

….. ih kita ranakku Kebo Iwo, rengonen warah ku teki, Ngku Hyang Siwa Pasupati, kalawan Bhatara Uma, maka garopatninKu, Hyang Druwe Rsi haranKu waneh, apa matangnia matrak ikang swanagara teki, pan tar hana mani purusha mwang pradhana maka sadhananta uminta ring Ngku, mangke yan kita mahyun gemah ripah lohjinawi, tar kerang pangan mwang kenum,…… wenang ta kita ngadakaken aci tabuh rah Pengangon, Aci Rare Angon, ngaken ngawarsha, sadhananing aci ika, wenang kupat lawan wantal, tika purusha pradhana ngarania, kang ngwijilaken mantaya, maharya, mwang mantiga sidheng landuh, pan ika mani mawottama. (Kapal, 29 Juli 2019, Lontar terjemahan oleh K.Sudarsana)

Kutipan lontar tersebut memiliki arti yaitu, ……wahai engkau Kebo Iwa, dengarlah baik-baik wejanganKu ini, Aku tiada lain adalah Sanghyang Siwa Pasupati bersama Dewi Uma yang merupakan istriKu, Aku juga dikenal dengan sebutan Sanghyang Druwe Rsi, apa sebabnya pada desa ini terjadi musim paceklik, karena tidak adanya sumber kehidupan (manik) dari Aku yang merupakan sumber adanya benih yang berupa purusha dan pradhana sebagai wujud memohon kehadapanKu, sekarang jika kalian ingin makmur, tidak kekurangan pangan kenum (makanan),…… Wajib engkau menghaturkan aci rah pengangon yang juga disebut aci Rare Angon yang mesti rutinitas dilakukan setiap tahunnya, sebagai sarananya aci tersebut, wajib menghaturkan Tipat Bantal, itu tiada lain sebagai simbolik Purusha Predhana (Kama Bang, Kama Putih, Tepung dan Kepala Putih, Pent.), baik tumbuh dari tanah, beranak, bertelur akan hidup dengan suburnya karena sesungguhnya sarana itu merupakan piranti yang sangat mulia untuk memohon kesejahteran. Dalam hal ini pertanian sangat erat kaitannya dengan terciptanya tradisi Aci Rah Pengangon.

undefined

Gambar 2 Alih fungsi lahan yang kini marak terjadi khususnya di Bali

Namun, tradisi Aci Rah Pengangon yang dilaksanakan kini hanya sebatas seremonial tanpa penguatan pada pokok tradisi. Hal ini didasari pada fakta keberadaan tanah pertanian yang kian menyusut. Bahkan, berdasarkan data Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Badung mencatat alih fungsi lahan pertanian selama tiga tahun terakhir, yakni pada tahun 2017, sawah di ‘Gumi Keris’ tercatat seluas 9.974,58 Ha, selanjutnya pada tahun 2018 berkurang menjadi 9.940,24 Ha, dan sementara data terbaru tahun 2019 luas lahan pertanian kembali turun menjadi 9.456,00 Ha (Radar Bali, 2019). Penyusutan ini juga terjadi di wilayah Desa Adat Kapal yang saat ini masih mempertahankan tradisi ditengah maraknya alih fungsi lahan. Kontraversi pelaksanaan tradisi saat alih fungsi lahan menjadi daya tarik untuk dibahas dan perlu diungkap keberadaannya. Maka perlu diketahui bagaimana keadaan tradisi ini disaat kegiatan alih fungsi lahan sedang maraknya terjadi diatas bumi pertiwi.

Upaya Pelestarian Tradisi Aci Rah Pengangon di Desa Adat Kapal

Tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat-Bantal merupakan tradisi yang bercikal bakal dari Ki Kebo Iwa. Berdasarkan lontar Tabuh Rah Pengangon, filosofi dari perang tipat-bantal ini adalah tipat sebagai unsur predana (perempuan), sedangkan bantal sebagai purusa (laki-laki), maka perpaduan atau pertemuan dari purusa dan predana di ruang hampa (langit) akan menghasilkan kehidupan yang makmur didalam masyarakat desa Kapal. Tipat dan bantal jika diibaratkan dalam keseharian kehidupan masyarakat adalah kepercayaan terhadap sumber kehidupan didunia ini yaitu ibu pertiwi, karena ibu pertiwi yang memberikan kemakmuran bagi mereka dan juga memberikan tempat untuk hidup. Begitu pula dengan tipat dan bantal yang bersumber dari padi dan ketan yang keduanya merupakan pangan yang berasal dari ibu pertiwi dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di desa Kapal.

undefined

Gambar 3 Sarana tipat-bantal yang digunakan dalam tradisi Aci Rah Pengangon

Tipat dan bantal adalah energi yang menghasilkan kehidupan, ketika perang tipat-bantal dilaksanakan, tipat dan bantal dilemparkan keatas sehingga terjadi pertemuan yang diyakini akan memberikan suatu kehidupan baru dan kesejahteraan di Desa Kapal. Tradisi ini juga mengisyaratkan bahwa masyarakat kapal dilarang untuk menjual ketupat karena ketupat merupakan simbol perempuan. I Putu Darma Susila mengatakan:

Tradisi perang tipat-bantal membawa pengaruh bahwa di desa ini dilarang untuk menjual ketupat sebab ketupat itu merupakan simbolis dari predhana (perempuan) dimana perempuan harus dilindungi dan dikasihi. Menjual ketupat sama halnya dengan menjual seorang wanita. Maka dari itu masyarakat Kapal dari dulu sampai saat ini tidak berani menjual tipat karena jika dilanggar maka akan mendapatkan dampak yang buruk bagi yang melanggar tersebut. (Wawancara, 29 Juli 2019)

Kemudian, adapun upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Kapal dalam mempertahankan tradisi Aci Rah Pengangon yakni sebagai berikut melaksanakan tarian Rejang Tipat dan Baris Bantal. Tarian Rejang Tipat dan Baris Bantal merupakan salah satu kesenian di Desa Adat Kapal yang merupakan karya seni dari generasi muda desa Kapal. Tarian ini terinspirasi dari tradisi perang tipat-bantal yang merupakan sebuah kebudayaan subak desa Kapal yang perlu dipertahankan eksistensinya. Rejang Tipat merupakan unsur dari predana (perempuan) dan Baris Bantal merupakan unsur purusa (laki-laki). Begitu pula tarian ini dilaksanakan oleh wanita sebagai penari Rejang Tipat dan pria sebagai penari Baris Bantal. Tarian Rejang Tipat dan Baris Bantal ini nantinya akan menimbulkan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Tri Murti, artinya : tarian yang merupakan simbolisasi dari lahirnya benih kehidupan baru (Uttpeti), kemudian akan memelihara dan mengembangkan benih kehidupan tersebut supaya menjadi keharmonisan didalam penerapan nilai Tri Hita Karana (Stiti), dan akan dijadikan sarana simbolisasi peleburan dari paceklik panen yang melanda desa Kapal (Pralina).

Persepsi Masyarakat Setempat terhadap Pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon di Tengah Alih Fungsi Lahan

undefined

Gambar 4 Wawancara penulis bersama narasumber Bapak I Putu Darma Susila

Sumber: Dokumentasi pribadi

Berdasarkan wawancara dengan I Putu Darma Susila selaku Kepala Pasraman Desa Sadhu Gunawan dan Ketua Karang Taruna Desa Adat Kapal, Tradisi Aci Rah Pengangon ini tetap dilaksanakan meskipun ditengah marak terjadinya kasus alih fungsi lahan, karena bagaimanapun kondisinya upacara haruslah tetap berlangsung. Namun, dalam kondisi seperti ini kita sebagai generasi muda dituntut berpikir secara kritis untuk melestarikan tradisi yang sudah ada dari sejak zaman nenek moyang. Tetapi bagaimanapun kondisi lahan pertanian suatu saat nanti, maka tradisi Aci Rah Pengangon tersebut tetaplah dilaksanakan karena sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat Kapal terhadap kehidupan yang sudah diberikan. Namun, alangkah baiknya jika kita bisa mempertahankan kedua hal tersebut agar anak cucu generasi kita kelak merasakan bagaimana kondisi pertanian tersebut yang sebenarnya.

Mencermati begitu menariknya pelaksanaan tradisi Aci Rah Pengangon di desa Adat Kapal serta betapa indahnya nilai-nilai yang terkandung didalamnya, maka seyogianya generasi muda khususnya karang taruna setempat untuk menjaga warisan leluhur tersebut agar tetap ajeg dan berkelanjutan. Bagi masyarakat setempat, diharapkan terus mengoptimalkan upaya-upaya dalam melestarikan budaya daerah khususnya tradisi Aci Rah Pengangon. Untuk pemerintah seyogianya membantu untuk mengawasi daerah di desa Kapal guna meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan secara ekspansif.

 

Cause “Without Culture, Knowledge is Nothing”

 

 

Referensi

Data alih fungsi lahan di Badung terdapat dalam Radar Bali dapat diakses pada https://radarbali.jawapos.com (diakses pada 2 Juli 2019)

  1. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :Djambatan

Sudarsana, Ketut. Terjemahan Lontar Tabuh Rah Pengangon. Kapal