Bali memiliki banyak julukan yang menyanjung keindahan dan eksotisme alam dan budaya Bali. Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Taman, The Last Paradise Island, Pulau Surga dan julukan lainnya sudah tak asing lagi di telinga kita. Bukan saja orang Indonesia tetapi juga berbagai bangsa di luar negeri sangat mengenal Bali dan segala keindahannya. Tidak menutup kemungkinan mereka jauh lebih mengenal Bali dan objek-objek wisata yang ada di Bali dibandingkan dengan orang Bali sendiri. Orang Bali cenderung menganggap biasa saja, bahkan ada yang tidak menyadari keindahan “rumahnya” sendiri, namun lebih cenderung melihat objek wisata daerah lain bahkan ke luar negeri. Berbagai motivasi melatar belakangi hal itu, salah satunya untuk meningkatkan gengsi, karena disebut kekinian dan eksis jika bisa pergi berwisata ke luar negeri.
Sikap apatis orang Bali itu bertolak belakang dengan wisatawan asing mancanegara, yang merasa hidupnya tak lengkap jika belum pernah ke Bali. Mereka bercita-cita ingin menginjakkan kakinya di tanah surga, menikmati segala keindahan dan keunikan budaya Bali. Tak salah jika berbagai media luar negeri mengapresiasi keindahan alam Bali, yang memposisikan Bali sebagai tempat wisata terbaik dunia, tempat ternyaman di dunia, dan memilih Bali sebagai tempat pelaksanaan berbagai acara-acara penting berskala nasional maupun internasional. Bali bahkan lebih terkenal dibandingkan Indonesia, bahkan Indonesia dianggap sebagai bagian dari Bali. Hal itu menunjukkan bahwa Bali sudah amat terkenal di seluruh dunia, dan hal itu sudah tidak bisa diragukan lagi.
Jika merunut sejarah kepariwisataan di Bali, hal ini tidak dapat dipisahkan dari kisah kunjungan bangsa barat, Belanda dan Prancis ke Bali, pasca masa kolonial dahulu pada awal tahun 1900-an. Kedatangan mereka yang pada awalnya melakukan perluasan wilayah jajahan, berbalik menjadi hasrat untuk berlibur dan berwisata. Hal ini mengingat pulau ini memiliki bentang alam yang indah, alami dan menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Bali sangat unik dengan berbagai ragam aktivitas budaya dan agamanya, membuat mereka menjadi tertarik dan jatuh cinta pada Bali. Saat pulang kembali ke negaranya, mereka bercerita tentang keindahan Bali, yang akhirnya cerita itu terus tersebar ke seluruh penjuru dunia. Kisah yang tersebar itu memicu niat para turis untuk membuktikan kisah yang dituturkan tersebut. Perkembangan berikutnya para seniman asing mulai menetap di Bali dan bahkan memilih menjadi orang Bali. Hal itu makin membuat nama Bali makin terkenal ke mancanegara, dan mulailah orang datang ke Bali untuk menginap dan berwisata, dimuali dari kawasan Ubud Gianyar. Perkembangan berikutnya adalah mulai dikunjunginya pantai-pantai di Bali dan kawasan wisata alam Bali, yang baru berkembang pesat jauh setelah terkenalnya adat dan budaya Bali.
Salah satu kawasan wisata di Bali yang juga sangat terkenal hingga ke mancanegara adalah Jatiluwih. Kata Jatiluwih merujuk pada salah satu nama desa dilereng timur Gunung Batukaru yang terletak di wilayah Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Jatiluwih sangat terkenal dengan keindahan bentang alamnya yang terdiri dari hamparan sawah yang berundak-undak, seperti halnya ditemui di Tegalalang Rice Terrace di Gianyar dan Munduk Terasering di Buleleng. Kedua wilayah tersebut menyuguhkan pemandangan alam terasering yang sangat indah. Bahkan jika dilihat dari segi penataan dan infrastruktur kawasan penunjang wisata, kawasan Tegalalang lebih tertata dan tersaji infrastruktur yang lengkap. Lalu mengapa Jatiluwih menjadi kawasan warisan budaya dunia (world heritage) dan jauh lebih terkenal sebagai kawasan wisata sosio agrobudaya di Bali?
Jatiluwih, secara etimologi dalam bahasa Bali berasal dari kata “jati” yang berarti “sesungguhnya” dan “luwih” yang berarti “indah, bagus, baik”, sehingga dalam bahasa Bali Jatiluwih berarti tempat yang memang benar-benar sungguh indah. Hal ini mengacu keindahan bentang alam persawahannya yang memberikan panorama alam yang sangat indah pada saat matahari terbt ataupun terbenam. Selain itu, secara mitologi kata Jatiluwih itu sendiri berasal dari kata “jaton” yang berarti jimat dan “luwih” berarti “indah, baik, bagus”. Diyakini oleh masyarakat setempat bahwa kawasan sawah Jatiluwih adalah jimat pusaka yang menjaga masyarakat Tabanan dan jagat Bali agar tetap dalam keadaan selamat dan sejahtera. Jimatnya tidak berupa barang yang menyeramkan, tetapi berupa hamparan sawah yang indah. Hal itu memang masuk akal, karena hamparan sawah di Jatiluwih ketika panen tiba mampu memenuhi sebagian kebutuhan pangan di Tabanan bahkan di Bali. Jelas saja, Jatiluwih ini memang layak disebut sebagai "jimat" pusaka Bali yang amat indah untuk pemenuhan pangan di Bali.
Kawasan Jatiluwih mulai menjadi objek daya tarik wisata sejak tahun 1980 yang diawali dengan adanya proyek swasembada pangan pemerintah Indonesia kala itu. Pembangunan jalan dan irigasi untuk menunjang peningkatan sektor pertanian kala itu membuat akses berkunjug ke kawasan Jatiluwih semakin mudah. Saat itu mulai berdatangan para wisatawan untuk melihat keindahan alam Jatiluwih. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya kunjungan wisatawan, dan dari mulut ke mulut keasrian wilayah subak Jatiluwih tersebut makin terkenal ke penjuru Bali, Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Perkembangan berikutnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan melakukan penataan kawasan Jatiluwih, hingga akhirnya pada tanggal 29 Juni 2012, UNESCO menetapkan kawasan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. Inilah yang membedakan kawasan wisata dan konservasi Jatiluwih ini terhadap objek wisata sejenis ini yang ada di Bali bahkan di belahan dunia lainnya.
Jatiluwih memiliki keunikan dan keunggulan sebagai kawasan wisata yang menjadi warisan budaya dunia. Bukan sekadar keindahan dan keasrian alamnya, namun Jatiluwih memiliki keindahan yang tersembunyi, yaitu merupakan representasi konsep irigasi tradisional Bali yang disebut Subak. Konsistensi pelestarian Subak dan berbagai aktivitas pertanian tradisional yang masih dipertahankan oleh masyarakat petani Jatiluwih inilah yang menjadi mutiara tersembunyi di balik keindahan bentang alam persawahan terasering ini. Itu sebabnya kawasan Jatiluwih ini memiliki tujuan utama bukan untuk pariwisata. Pariwisata adalah dampak sampingan, karena tujuan utama dari Jatiluwih ini adalah untuk kawasan konservasi, pelestarian dan perlindungan terhadap nilai-nilai luhur kearifan lokal masyarakat Bali dalam melaksanakan Subak termasuk konsep pelestariannya secara tradisional.
Itulah sebabnya penulis merasakan, konsep pelestarian kawasan Jatiluwih ini bukan mengacu pada konsep pelestarian dengan metode dan pendekatan ahli-ahli Barat yang belum tentu sesuai dengan keberadaan Jatiluwih ini. Metode yang tepat dalam konsep pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan kawasan Jatiluwih ini adalah melalui konsep Catur Wana Kerthi yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana. Catur Wana ini adalah konsep pemanfaatan hutan dan kawasan hutan untuk mendukung kelangsungan hidup manusia demi terciptanya harmonisasi hidu manusia dengan Tuhan, sesame manusia dan lingkungannya. Konsep Catur Wana ini telah diterapkan oleh masyarakat Bali sejak dahulu, sehingga kondisi kelestarian alam dan pemanfaatan lahan di Bali tidak kebablasan. Tidak ada ego pribadi, tidak sekadar mengejar kekayaan semata, tetapi lebih pada konsep keharmonisan dan keberlanjutan (suistinable).
Catur Wana yang merupakan empat zonasi hutan terkait dengan tujuan pemanfaat hutan bagi masyarakat Bali zaman dulu. Konsep ini sangat tepat digunakan untuk konsep pembangunan dan penataan tata ruang dan wilayah masyarakat Bali kini, khususnya pada kawasan konservasi yang sekaligus merupakan kawasan wisata. Harapannya, masyarakat selaku pemilik wilayah, investor, dan wisatawan yang datang ke sana tidak menuruti egonya dalam memanfaatkan wilayah pariwisata ini. Pada saat ini, konsep ini mulai diimplementasikan juga pada kawasan cagar budaya dunia Jatiluwih.
Lalu apa sih bagian–bagian dari Catur Wana itu? Tentunya belum banyak dari Yowana Bali yang belum mengetahui hal ini. Berikut pembagian Catur Wana tersebut.
1.Maha Wana : kawasan yang tidak boleh mengalami perubahan, dipertahankan seperti sediakala dan kondisi dan situasinya harus tetap pada keadaan alaminya. Jika disesuaikan dengan konsep konservasi barat, kawasan ini merupakan kawasan inti. kawasan ini di Jatiluwih merupakan kawasan hutan di lereng gunung Batukaru bak di kawasan timur, utara maupun barat.
2.Tapa Wana : kawasan suci, di mana kawasan ini sebagai batas untuk membatasi ruang gerak manusia menuju mahawana sekaligus sebagai zona spiritual. Zona ini digunakan oleh orang Bali untuk membangun tempat suci, sehingga ruang gerak manusia dapat dikendalikan. Kawasan ini di Jatiluwih ditandai dengan adanya Pura Luhur Bhujangga, Pura Resi, Pura Linggarsari, Pura Jero Taksu, Pura Luhur Petali, dan Pura Luhur Rambut Sedana. Keberadaan Pura tersebut menjadi kawasan penyangga kawasan inti, sehingga kelestarian hutan sebagai wilayah serapan air dan keragaman hayati tetap lestari.
3.Sri Wana : Kawasan Pemanfaatan. Kawasan ini diperkanankan sebagai kawasan untuk bercocok tanam. Kawasan Sri Wana ini adalah kawasan pertanian, perkebunan maupun kawasan hutan produksi. Hal ini disebut sebagai zona pemanfaatan. Zona ini adaah zona produktif yag juga harus dijaga kelestarian dan keberadaannya. Kawasan produktif inilah yang akan menjadi sumber penghidupan dan kehidupan masyarakat. Pada kawasan Jatiluwih, ditunjukkan dari kawasan persawahan dan lahan perkebunan warga yang kini ditetapkan sebagai kawasan Sawah Abadi, sehingga tetap menjadi kawasan yang produktif dan terjaga kelestariannnya.
4. Jana Wana : kawasan pemanfaatan wilayah hutan atau wilayah untuk perumahan dan aktifitas manusia lainnya. Hal ini merupakan kawasan pemanfaatan untuk kebutuhan hidup manusia, khususnya untuk perumahan, dan dalam dunia wisata digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata. Pada kawasan Jatiluwih ini adalah ditunjukkan pada letak perumahan pada kawasan desa, kawasan pendirian restoran, penginapan, dan pusat kesehatan masyarakat, serta kawasan pemerintahan desa.
Begitu hebatnya leluhur Bali dalam memanfaatkan lahan dan kawasan. Mereka amat arif dan bijaksana memanfaatkan lahan, sehingga kelestarian, keaslian dan keberlanjutan kawasan ini bisa terus bertahan selamanya. Inilah bentuk komitmen dan keseriusan masyarakat Bali menjaga alam Bali. Konsep ini sangat tepat diterapkan dalam kawasan-kawasan wisata di Bali, sehingga benang merah kondisi alam masa lalu dan masa kini tetap terjaga kelangsungannya.
Kawasan wisata bukan sekadar tempat bersenang-senang, selfie, dan ajang tempat bermain-main semata. Banyak wisatawan bahkan orang Bali sendiri yang berkunjung ke sebuah tempat wisata, hanya terfokus untuk memuaskan kepuasan mata untuk memandang keindahan alam. tetapi juga harus mencerdakan, mengadabkan manusia, dan melestarikan lingkungan. Konsep Catur Warna ini adalah bukti nyata kearifan leluhur Bali untuk mewujudkan kawasan wisata alam dan konservasi Jatiluwih seperti hal tersebut di atas. Sikap antipati, tak peduli lingkungan, hanya sekadar eksis, dan sikap tidak bertoleransi adalah sikap wistawan yang tidak baik, dan mulailah untuk mencintai, memaknai dan ikut menjaga kelestariannya.
Bila teman-teman ingin mengetahui beberapa tempat dari Konsep Catur Wana, tapi gak punya waktu untuk berkunjung dan berkeliling di Jatuluwih. Jangan khawatir, klik link dibawah ini untuk mengetahui sekilas perjalanan mengunjungi "Si Cantik Permadani Bali".
https://www.youtube.com/watch?v=FX9MmSq-hJI [Jatiluwih || Catur Wana || Wisata Alam dan Religi || Made Bella]
Oke Guys !!! Karena Alam adalah Ibu kita dan Budaya yang mengalir didarah kita, jadi tunggu apa lagi? Save the environment from your own action !!!
sumber data :
Arum,I Gede.Wawancara.2018."Catur Wana Jatiluwih, Konservasi dan Pariwisata".Tabanan.
Komentar